Karena dianggarkan di anggaran perubahan, pengerjaannya tidak rampung. Terpaksa harus menyebrang ke tahun 2021.
"Jadi proyek ini legal di tahun 2020, tapi ilegal di tahun 2021. Layaknya kalau mau dilanjut 2021, harus masuk (DPA)," jelasnya.
Kepala Biro Pengadaan Barang dan Jasa (PBJ) Sari Pudjiastuti mengaku paket proyek tersebut memang ditender pada tahun 2020. Tahun ini sudah tidak karena tidak masuk dalam DPA 2021.
"DPA adalah satu syarat atau dokumen yang harus dilaporkan pada saat pengumpulan tender, harus ada DPA nya. Kita tidak tender kalau tidak ada," jelas Sari.
Baca Juga:Proyek Pedestrian Pemprov Sulsel di CPI Bodong, KPK Diminta Telusuri
Seharusnya pekerjaan itu rampung di tahun 2020 karena lelang kontrak tahun tunggal (hanya di 2020). Bukan proyek tahun jamak.
Kecuali dalam prosesnya ada kebijakan dari Pejabat Pembuat Komitmen (PPK) untuk memberi kesempatan jika pekerjaan tidak rampung jelang akhir tahun. Biasanya, kontraktor diberi perpanjangan waktu selama 50 hari kalender untuk menyelesaikan pekerjaan yang terbengkalai.
"Kebijakan itu diberikan untuk pekerjaan yang progresnya hampir rampung. Tapi ini tidak ada penyampaian oleh PPK," jelasnya.
Kepala Dinas Pekerjaan Umum dan Tata Ruang Sulsel Rudy Djamaluddin tidak hadir dalam rapat tersebut. Alasannya, yang bersangkutan sedang sakit.
Rapat diwakili Kepala Seksi Pembangunan Jalan dan Jembatan, Nihaya. Namun, ia tak berkomentar banyak. Nihaya mengaku tidak tahu ada tanda tangan kontrak kala itu. Padahal jelas-jelas tidak diusulkan.
Baca Juga:Andi Sudirman Sulaiman Fokus Bangun Infrastruktur Jalan di Sulawesi Selatan
"Kami tidak tahu alasan sebenarnya kenapa mereka tandatangan kontrak," tuturnya singkat.