SuaraSulsel.id - Hari guru nasional masih menyimpan kesedihan banyak guru di Indonesia. Khususnya guru yang berstatus sukarela dan guru honorer.
Meski setiap hari harus mengajar, tapi gaji sebagai honorer belum mampu mencukupi kebutuhan hidup sehari-hari para guru.
Salah satunya Cokro Wijoyo. Guru asli Indramayu. Tepatnya dari Karangkerta Tukdana. Hobinya adalah mengajar anak-anak.
Kesenangan itu ia dapatkan di SDN Sekarmulya, sebagai guru honorer. Hobi? Ya, karena apa yang dilakukan setiap hari nyaris tidak masuk akal.
Baca Juga:Hari Guru Nasional, Guru Honorer di Tegal Masih Digaji Rp300 Ribu Per Bulan
Jarak dari Karangkerta ke Sekarmulya itu 60 kilometer. Waktu tempuh dengan kendaraan roda dua tak kurang dari 1,5 jam.
Saat pulang ia menempuh jarak yang sama. Dalam sehari ia menghabiskan waktu tiga jam untuk berkendara, menapaki jarak 120 kilometer.
Joyo, begitu ia biasa disapa, adalah guru yang terlewat dari kebijakan pengangkatan guru honorer, karena “kecelakaan”. Ia gagal mendapatkan sertifikasi guru.
Padahal pengalamannya mengajar lebih dari cukup. Lulus dari Universitas Terbuka pada 1997, ia mulai mengajar di SDN Tukdana VI. Dua tahun berselang pindah ke SDN Gabusewetan III sampai 2005.
“Saya sempat banting setir mencoba usaha lain,” ujar guru kelahiran 5 Oktober 1976 itu, mengutip dari jabar.nu.or.id
Baca Juga:7 Ide Hadiah Menarik untuk Diberikan di Hari Guru Nasional
“Wajah anak-anak sekolah yang selalu ceria itu selalu terpampang di depan mata,” lanjutnya berterus terang. Maka pada 2008 ia kembali mengajar di SDN Sekarmulya Gabuswetan hingga sekarang.
Gaji honornya dari mengajar, hanya 500 ribu rupiah setiap bulan. Untuk mengganti bensin motornya saja, tidaklah cukup.
Namun, mengajar baginya bukan cara untuk mendapatkan uang, melainkan sebuah panggilan jiwa.
Semangat perjuangannya itu diakui Joyo didapatkan dari almarhum ayahnya, Raswin, seorang pensiunan guru.
Juga dari pengajian rutinan yang diikutinya. Sebagai warga nahdliyyin, ia mengasah ruhaninya bersama jamiyyah Yasinan di kampungnya.
Mengajar baginya adalah menemukan keberkahan hidup. Terbukti dari tiga anaknya Elanika, Dede Riski, dan Dapa Surya Rahman, semua bisa bersekolah. Anaknya yang sulung kini sudah duduk di kelas X SMA.
Wajah-wajah polos anak-anak sekolah dasar itu selalu memompa semangatnya agar segera sampai di sekolah. Jam 05.30 ia sudah melaju di atas motor bebeknya.
Sekalipun kediamannya paling jauh, Joyo seringkali yang datang pertama di sekolah. Mendidik adalah panggilan hidup yang sudah mendarah daging. Jarak bukan lagi halangan baginya.
Anak-anak memanggilnya Pak Joyo. Untuk memenuhi kebutuhan hidupnya, ia dibantu Karsem, istrinya, yang berdagang di rumah dan membuka kantin di sebuah sekolah menengah di Tukdana.
Selesai mengajar, Joyo singgah dulu untuk menutup kantin yang dikelola istrinya. Jam 14.30 ia melanjutkan perjalanan ke pasar Tukdana untuk berbelanja kebutuhan warung istrinya.
Sampai jam 20.00 ia membantu menyiapkan warung dan kantin. Lalu jam 02.00 ia sudah terjaga, membantu istrinya memasak penganan untuk dijual keesokan harinya.
Dan ketika masa pandemi tiba, kehidupan Joyo ikut terguncang. Sekolah diliburkan. Ia tak bisa mengajar dan istrinya pun tak bisa berjualan di kantin.
Mereka hanya bergantung pada warung kecil di rumah. Dalam kondisi seperti ini, inspirasi Joyo adalah ibunya. Rasiyem adalah seorang perempuan tangguh yang tak lelah bekerja.
“Ibu saya sampai sekarang masih kuat berjualan kerupuk di pasar Gabuswetan,” tutur Joyo.
Dari ibunya inilah ia belajar menjadi orang yang tegar. Meski kecil-kecilan, ia tetap mempertahankan warung kecilnya.
Wajah Joyo kembali ceria saat mendengar penjelasan Menteri Pendidikan Nadiem Makarim yang akan mengizinkan tatap muka di sekolah pada awal 2021.
Dapat kembali bertemu anak-anak di sekolah, membuatnya bahagia dan merasa lega. Memang, Joyo tak memungkiri kalau ia selalu berdoa agar karirnya sebagai guru dapat meningkat.
“Semoga Hari Guru Nasional kali ini, membawa berkah buat saya,” harapnya.