Tanah Adat Pamona Digusur, Dijadikan Lahan Kelapa Sawit

Tanah leluhur milik masyarakat adat Pamona tersebut kini dijadikan lahan kelapa sawit

Muhammad Yunus
Selasa, 24 November 2020 | 08:29 WIB
Tanah Adat Pamona Digusur, Dijadikan Lahan Kelapa Sawit
Perwakilan masyarakat adat Pamona Kabupaten Luwu Timur melakukan jumpa pers di Sekretariat Walhi Sulsel, Senin 23 November 2020 / [Foto SuaraSulsel.id: Muhammad Aidil]

SuaraSulsel.id - Evi salah satu warga adat Pamona di Kabupaten Luwu Timur, Sulawesi Selatan (Sulsel) meneteskan air mata saat tanah adatnya direbut oleh PT Pekebunan Nusantara (PTPN) XIV.

Tanah leluhur milik masyarakat adat Pamona tersebut kini dijadikan lahan kelapa sawit.

Kejadian ini bermula sejak tahun 1986. Saat itu, tanah adat masyarakat Pamona, Kabupaten Luwu Timur, Sulsel seluas 938,77 hektare.

Dari 938,77 hektare tanah adat tersebut, PTPN XIV kemudian mengklaim bahwa 814 hektare masuk dalam Daftar Hak Guna Usaha (HGU).

Baca Juga:Masyarakat Adat yang Lahannya Tidak Digusur Lebih Survive saat Pandemi

Dengan dalih masuk HGU, satu tahun kemudian PTPN melakukan penanaman bibit kepala sawit pada tanah adat masyarakat Pamona seluas 514 hektare.

"PTPN XIV mengklaim lahan seluas 814 hektare, namun mereka hanya mampu mengelola lahan tersebut seluas 514 hektare," kata Ketua Masyarakat Adat Pamona, Evi di Kantor Walhi Sulsel, Jalan Aroepala, Kota Makassar, Senin (23/11/2020).

Menurut Evi, masyarakat Pamona yang telah mengelola tanah adat seluas 514 hektare selama puluhan tahun tersebut hingga kini belum mendapatkan ganti rugi. Atas kerusakan tanaman mereka yang diserobot oleh PTPN untuk dijadikan sebagai lahan kelapa sawit.

"Jadi ada kurang lebih 100 masyarakat adat Pamona sampai detik ini belum mendapatkan ganti kerugian tanaman yang dirusak pada tahun 1986," jelas Evi.

Petani memanen buah kelapa sawit di ladangnya, Nagari Tapakis, Padangpariaman, Sumbar. (ANTARA FOTO/Iggoy el Fitra)
Petani memanen buah kelapa sawit di ladangnya, Nagari Tapakis, Padangpariaman, Sumbar. (ANTARA FOTO/Iggoy el Fitra)

Karena hanya mampu mengelola lahan seluas 514 hektar, kata Evi, masyarakat Pamona kemudian memanfaatkan sisa lahan yang tidak digunakan oleh PTPN. Semua ini mereka lakukan untuk dapat bertahan hidup dengan cara bertani dan berkebun di tanah adat mereka.

Baca Juga:AMAN Bicara Sulitnya Pengesahan UU Masyarakat Adat

Hanya saja, lagi-lagi PTPN kembali menyerobot lahan dan merusak tanaman warga Pamona dengan menggunakan empat unit ekskavator dan dikawal aparat kepolisian. Akan tetapi, lahan 514 hektare milik masyarakat adat Pamona yang dirampas oleh PTPN untuk dijadikan lahan kelapa sawit sendiri sejatinya belum juga diganti rugi.

"Masyarakat Pamona memanfaatkan lahan yang tidak dipakai atau tidak dimanfaatkan oleh PTPN di lahan 300 hektare yang pada bulan Mei lalu kembali digusur oleh PTPN dan dikawal oleh pihak keamanan," kata dia.

"Artinya lahan-lahan masyarakat belum dibebaskan, belum selesai diganti rugi, tapi lahan masyarakat yang 300 hektare itu juga akhirnya digusur oleh PTPN," tambah Evi.

Tak hanya itu, tanah adat masyarakat Pamona yang terletak di Desa Pancakarsa, Kabupaten Luwu Timur yang dihuni oleh 400 jiwa, juga digusur oleh PTPN XIV. Padahal, lahan yang berada di Desa Pancakarsa sendiri ini, kata Evi, tidak termasuk dalam daftar HGU.

"Sayangnya belum selesai konflik ini PTPN kembali melakukan penggusuran lahan milik warga Desa Pancakarsa, untuk perluasan perkebunan kelapa sawit. Lahan yang baru-baru ini dirampas oleh PTPN tersebut tidak termasuk dalam HGU. Jadi dia di luar peta HGU ini," terang Evi.

Evi menjelaskan bahwa masyarakat Pamona sudah memperjuangkan tanah adat mereka selama 30 tahun. Namun, setiap memperjuangkan tanah adat tersebut, masyarakat Pamona kerap mendapatkan tekanan dari berbagai pihak.

"Saya adalah generasi kedua yang memperjuangkan tanah itu, namun tekanan demi tekanan sudah cukup luar biasa. Terutama saya sudah banyak mendapat tekanan. Bahkan tahun lalu hampir terjadi konflik berdarah. Kami sudah memperjuangkan lebih dari 30 tahun tanah kami," terang Evi.

Akibat lahan tersebut diserobot, kata dia, warga Pamona sudah tidak dapat bekerja lagi. Sebab, satu-satunya tanah yang selama ini dijadikan masyarakat untuk bertahan hidup semuanya sudah dirampas oleh PTPN untuk kepentingan lahan kelapa sawit.

"Sekarang kami sudah tidak punya penghasilan karena lahan kami sudah tidak ada. Setiap mereka ke kebun, mereka (PTPN bawa Brimob)," katanya.

Personel Brimob Polda Sumut berjaga di depan Kantor KPU Medan, Jumat (4/9/2020) [Istimewa]
Personel Brimob Polda Sumut berjaga di depan Kantor KPU Medan, Jumat (4/9/2020) [Istimewa]

Senada dengan Evi, warga Pamona, Tedy menambahkan bahwa dirinya juga menjadi korban perampasan tanah yang dilakukan oleh PTPN XIV. Kebun-kebun Tedy yang ditanami merica dan coklat juga dirampas oleh PTPN.

"Kebun saya, di dalamnya ada 1500 merica, 100 coklat, dan pohon palang. Kalau tetangga-tetangga saya, ada ribuan sawit, tanaman merica yang lain. Itu semua dirusak tidak ada ganti rugi," ungkap Tedy.

Tedy mengungkapkan bahwa berbagai upaya juga telah dilakukan oleh masyarakat Pamona untuk mempertanyakan mengapa lahan pertanian mereka dirampas oleh PTPN.

Namun, jawaban yang diterima masyarakat Pamona dari PTPN malah justru hal yang tidak mengenakkan.

"Kami sudah melakukan upaya untuk bertanya kepada PTPN, tapi PTPN justru mengatakan kami bodoh, penipu. Dan mengatakan kalau anda merasa ini tanah milik anda, silahkan gugat di pengadilan. Itu berarti gugatan perdata, kita tidak ada uang. Kita orang miskin. Selama PTPN datang ke Luwu Timur sampai sekarang, tidak ada kontribusi apa pun. Selain hanya merampas lahan-lahan pertanian keluarga saya, dan teman-teman yang lain," beber Tedy.

Direktur Eksekutif Wahana Lingkungan Hidup (Walhi) Sulsel Muhammad Al Amin mengemukakan, apa yang terjadi pada masyarakat Pamona telah membuktikan bahwa rakyat kerap kali menjadi korban bisnis negara untuk memperluas atau meningkatkan APBD dan APBN serta pendapatan negara.

Dimana, tanah-tanah adat yang sudah dikelola oleh masyarakat selama bertahun-tahun juga dirampas secara paksa.

"Yang terjadi adalah negara dan pemerintah sudah sering kali mengabaikan hal tersebut dan mengambil tanah itu secara paksa," katanya.

Sebab itu, Amin menegaskan agar Menteri Badan Usaha Milik Negara (BUMN) Erick Thohir tidak menggunakan cara-cara lama untuk memperluas bisnis negara. Erick Thohir harus bertanggungjawab atas konflik agraria yang dialami warga adat Pamona, Kabupaten Luwu Timur.

"Erick Thohir harus tanggungjawab atas konflik agraria di Pamona. Ada ratusan warga Pamona dan belasan warga Desa Pancakarsa yang saat ini mencari keadilan agar tanahnya dikembalikan oleh PTPN. Saya juga meminta agar PTPN menghentikan cara-cara represif dalam mendapatkan aset-asetnya. Dan pemerintah harus turun tangan atas konflik ini," tegas Amin.

Sementara itu, Manager PTPN XIV Andi Evan yang dikonfirmasi terpisah belum mau memberikan komentar terkait lahan masyarakat Pamona, Kabupaten Luwu Timur yang direbut secara paksa tersebut. Ia beralasan sedang berada di luar kota untuk suatu kepentingan.

"Baiknya dibicarakan di kantor. Saya di Burau besok pagi," singkatnya.

Kontributor : Muhammad Aidil

BERITA TERKAIT

REKOMENDASI

News

Terkini