Muhammad Yunus
Selasa, 16 Desember 2025 | 16:11 WIB
Ketua KPRPI Mahfud MD didampingi Wakil Ketua KPRPI Jenderal Polisi (Purn) Badrodin Haiti di Universitas Hasanuddin Makassar [Sekretariat KPRP/Humas Setneg]
Baca 10 detik
  • Audiensi KPRPI di Makassar pada 16 Desember 2025 menyoroti praktik calo rekrutmen Polri sebagai perusak kepercayaan publik
  • Pakar hukum menyoroti lemahnya pengawasan rekrutmen yang memungkinkan praktik pembayaran dan pemerasan calon anggota polisi
  • KPRPI mencatat keluhan masyarakat tentang Polri yang terlalu politis, adanya pemerasan, dan perlunya perubahan kultur humanis

SuaraSulsel.id - Praktik calo dalam rekrutmen calon bintara hingga perwira dinilai menjadi salah satu akar persoalan yang menggerus kepercayaan masyarakat terhadap institusi Polri.

Kegelisahan tersebut menguat dalam audiense Komisi Percepatan Reformasi Kepolisian Indonesia (KPRPI) bersama sejumlah akademisi dan lembaga swadaya masyarakat (LSM) di Universitas Hasanuddin Makassar, Selasa, 16 Desember 2025.

Forum ini menjadi ruang terbuka bagi masyarakat menyampaikan keluhan, termasuk soal praktik calo seleksi polisi yang terus berulang dari tahun ke tahun.

Pakar hukum Universitas Hasanuddin, Prof Aminuddin Ilmar yang hadir sebagai penanggap, secara tegas menyoroti persoalan rekrutmen Polri.

Ia menyebut, praktik pembayaran dalam penerimaan calon anggota polisi sudah lama menjadi rahasia umum.

"Kami mengusulkan beberapa hal yang perlu diperbaiki dalam rekrutmen calon bintara dan perwira. Salah satu yang paling mendesak adalah banyaknya praktik pembayaran dalam penerimaan calon siswa polisi," kata Aminuddin saat dihubungi usai pertemuan itu.

Menurutnya, laporan terkait dugaan calo dan pemerasan dalam seleksi Polri terus bermunculan setiap musim penerimaan. Kondisi ini, kata dia, harus menjadi perhatian serius KPRPI sebagai tim yang diberi mandat mempercepat reformasi kepolisian.

"Ada banyak kasus, banyak laporan. Jangan sampai setiap penerimaan kita selalu mendapat informasi ada oknum yang memanfaatkan kesempatan, mengiming-imingi lewat calo atau bahkan memeras calon peserta," ujarnya.

Aminuddin menilai persoalan ini tidak bisa dilihat semata sebagai ulah individu. Lemahnya sistem pengawasan rekrutmen dinilai membuka ruang bagi oknum panitia, perantara, maupun pihak luar untuk bermain.

Baca Juga: Mengapa Warga Lebih Percaya Damkar daripada Polisi? Yusril Ihza Angkat Bicara Soal Fenomena Ini

"Ini harus diperbaiki dari hulu ke hilir. Mulai dari level panitia penerimaan, oknum perantara, sampai sistem pengawasan yang selama ini masih lemah," tegasnya.

Ia juga menyoroti dampak sosial dari praktik tersebut. Terutama bagi calon anggota Polri yang berasal dari keluarga kurang mampu.

"Kasihan calon anggota dari keluarga tidak mampu kalau sistem rekrutmen masih seperti ini. Mereka yang sebenarnya berpotensi justru tersingkir karena tidak punya uang," katanya.

Selain rekrutmen, Aminuddin menekankan pentingnya pembinaan dan pengawasan terhadap praktik penyimpangan yang dilakukan oknum polisi setelah mereka resmi bertugas. Menurutnya, rekrutmen yang kotor akan melahirkan aparat yang sejak awal terbebani motif pengembalian modal.

Isu calo seleksi polisi bukan tanpa dasar. Beberapa bulan lalu, publik dihebohkan dengan kasus dugaan penipuan seleksi Akademi Kepolisian (Akpol) di Makassar yang melibatkan seorang bos skincare.

Korban bernama Gonzalo (19) dilaporkan mengalami kerugian hingga Rp4,9 miliar.

Pelaku utama, Andi Fatmawati, diduga bekerja sama dengan oknum polisi dan menjanjikan kelulusan Akpol dengan imbalan ratusan juta rupiah.

Bahkan, nama Kapolri Jenderal Listyo Sigit Prabowo dan anggota DPR RI Ahmad Sahroni sempat dicatut untuk meyakinkan korban.

Saat ini, empat anggota polisi tengah menjalani proses hukum terkait kasus tersebut.

Kasus serupa juga terjadi pada Juli 2025. Polisi menangkap seorang buruh bernama Rusdi Halim di Makassar yang diduga menipu warga hingga Rp200 juta dengan iming-iming meloloskan anak korban menjadi anggota Polri. Nyatanya, korban tetap gagal dalam seleksi.

Rentetan kasus ini memperkuat persepsi publik bahwa masalah rekrutmen Polri bersifat sistemik. Hal itu pula yang mencuat dalam agenda serap aspirasi KPRPI di Makassar.

Ketua KPRPI Mahfud MD, didampingi Wakil Ketua KPRPI Jenderal Pol (Purn) Badrodin Haiti, menegaskan bahwa pertemuan ini tidak dimaksudkan untuk mengambil keputusan, melainkan mendengar secara utuh suara masyarakat.

Mahfud mengakui, suara masyarakat dari berbagai daerah nyaris seragam. Kepercayaan publik terhadap Polri sedang berada pada titik rendah.

Persepsi publik bahwa Polri kini terlalu jauh masuk ke ranah politik dan kekuasaan. Selain itu, muncul pula keluhan soal praktik penyalahgunaan kewenangan di lapangan.

"Aspirasi yang menonjol itu polisi sekarang dianggap terlalu masuk ke politik. Ada keluhan soal pemerasan, penipuan, praktik membekingi, dan macam-macam dugaan kejahatan lainnya," ungkap Mahfud.

Meski begitu, Mahfud mengingatkan bahwa Polri memiliki jumlah personel yang sangat besar, mencapai sekitar 467 ribu orang.

Ia menilai, secara proporsi, lebih banyak polisi yang bekerja dengan baik dibandingkan yang melanggar aturan.

"Kalau dihitung per kepala, sebenarnya lebih banyak yang baik. Tapi persoalannya, oknum-oknum yang melanggar ini kebetulan berada di posisi struktural. Akibatnya, pelanggaran itu berpengaruh besar terhadap citra dan postur Polri secara keseluruhan. Seolah-olah Polri sedang sakit," ujarnya.

Mahfud mengungkapkan, sebelum turun ke daerah, KPRPI telah mengundang 78 LSM di Jakarta. Jumlah tersebut akan bertambah menjadi 85 LSM setelah pertemuan lanjutan.

Selain itu, anggota KPRPI juga berkeliling ke sejumlah provinsi, mulai dari Sumatera hingga kawasan timur Indonesia.

"Kami berkeliling. Pak Badrodin sudah ke Maluku, Palu, Ambon. Saya sendiri kemarin di Medan dan sekarang di Makassar. Rata-rata keluhannya sama. Masyarakat berharap Presiden memberikan dukungan penuh terhadap agenda reformasi Polri yang dulu juga digagas oleh Presiden sendiri," jelasnya.

Wakil Ketua KPRPI, Jenderal Pol (Purn) Badrodin Haiti, menambahkan bahwa reformasi Polri tidak cukup hanya menyentuh aspek struktural dan regulasi, tetapi juga harus menyasar kultur dan paradigma kerja aparat.

"Memang banyak hal yang perlu dibenahi. Dari sisi kultur, cara berkomunikasi, hingga pendekatan dalam menangani unjuk rasa. Masih ada keluhan soal kekerasan dalam menangani penyampaian pendapat di muka umum," kata Badrodin.

Ia membandingkan praktik kepolisian di Indonesia dengan negara lain, seperti Australia, yang dinilai memiliki pendekatan lebih humanis terhadap masyarakat.

"Kenapa polisi kita bisa berbeda dengan polisi di Australia? Ini soal paradigma. Paradigmanya harus diubah secara mendasar, terutama dari sisi kultur. Polisi tidak boleh semena-mena dan tidak menonjolkan kewenangan," tegasnya.

Badrodin menekankan, legitimasi Polri sejatinya bersumber dari kepercayaan publik. Tanpa dukungan masyarakat, kinerja kepolisian akan rapuh.

"Polisi harus sadar bahwa legitimasi dari rakyat, kepercayaan rakyat, dan dukungan publik itu sangat berarti," ucapnya.

Kontributor : Lorensia Clara Tambing

Load More