Muhammad Yunus
Rabu, 16 Juli 2025 | 15:55 WIB
Etika Membunyikan Klakson. Psikolog sosial menyebut fenomena ini sebagai agresi instrumental. Klakson menjadi alat untuk meluapkan frustrasi yang terpendam (freepik)

SuaraSulsel.id - Lampu merah baru saja berganti hijau. Belum genap satu detik, raungan klakson yang memekakkan telinga sudah menyalak dari mobil di belakang.

Pernah mengalaminya? Tentu saja. Adegan ini sudah seperti ritual harian di hampir setiap persimpangan jalanan kota-kota besar di Indonesia.

Klakson, yang seharusnya berfungsi sebagai alat komunikasi darurat untuk memberi peringatan, telah berevolusi menjadi tombol pelampiasan emosi.

Ia menjadi bahasa kemarahan, simbol ketidaksabaran, dan cermin dari etika berkendara yang tampaknya semakin terkikis.

Fenomena ini bukan lagi sekadar kebiasaan buruk, melainkan sebuah gejala sosial yang mencerminkan budaya masyarakat urban yang selalu tergesa-gesa dan gampang tersulut amarah.

Lantas, mengapa klakson menjadi senjata utama para pengendara kita?

Klakson: Perpanjangan Tangan dari Emosi yang Tak Terkelola

Pada dasarnya, fungsi klakson sangat spesifik. Memberikan sinyal peringatan untuk menghindari bahaya.

Misalnya, memberitahu pejalan kaki yang akan menyeberang atau memberi sinyal pada kendaraan di tikungan tajam.

Baca Juga: Klakson Tren Telolet Akan Ditindak Tegas di Sulawesi Selatan

Namun, di jalanan kita, fungsinya meluas menjadi kamus ekspresi negatif.

- Klakson "Cepat!": Dibunyikan sepersekian detik setelah lampu hijau menyala.

- Klakson "Minggir!": Digunakan dengan nada panjang dan memaksa saat ingin menyalip, seolah jalanan adalah milik pribadi.

- Klakson "Kenapa Berhenti?": Ditembakkan pada pengemudi di depan yang melambat karena ada hambatan yang tak terlihat oleh mobil di belakang.

- Klakson "Aku Marah!": Rentetan klakson pendek dan keras sebagai reaksi atas kesalahan kecil pengendara lain.

Psikolog sosial menyebut fenomena ini sebagai agresi instrumental. Klakson menjadi alat untuk meluapkan frustrasi yang terpendam.

Di dalam tempurung logam kendaraannya, seorang pengemudi merasa anonim dan kuat, membuatnya lebih berani mengekspresikan kemarahan yang mungkin akan ia tahan jika berhadapan langsung.

Akar Masalah: Cermin Budaya Kurang Sabar dan Minim Edukasi

Penggunaan klakson yang berlebihan ini tidak muncul dari ruang hampa. Ada beberapa faktor mendasar yang menyuburkan budaya ini.

- Minimnya Pendidikan Etika Berkendara

Kurikulum untuk mendapatkan Surat Izin Mengemudi (SIM) di Indonesia lebih banyak berfokus pada kemampuan teknis dan pengetahuan rambu lalu lintas.

Aspek fundamental seperti etika, empati, dan kesabaran di jalan sering kali terabaikan. Pengendara tidak diajarkan kapan waktu yang tepat dan tidak tepat untuk menggunakan klakson.

- Stres Akibat Kemacetan

Kemacetan parah adalah pemicu stres yang luar biasa. Rasa frustrasi karena terjebak di jalan membuat sumbu kesabaran pengendara menjadi sangat pendek.

Klakson menjadi katup pelepas stres termudah, meskipun sama sekali tidak efektif untuk mengurai kemacetan.

- Kultur "Instan" dan Individualistis

Kita hidup di zaman yang menuntut segalanya serba cepat. Budaya ini merembes ke jalanan.

Setiap detik dianggap berharga, dan setiap hambatan—sekecil apa pun—dianggap sebagai gangguan personal.

Sikap "yang penting saya cepat sampai" mengalahkan kesadaran untuk berbagi ruang jalan dengan orang lain.

- Efek Domino Agresi

Penggunaan klakson yang agresif bersifat menular. Ketika satu pengendara membunyikan klakson dengan marah, itu akan memicu reaksi berantai.

Pengendara lain merasa terprovokasi dan ikut-ikutan menekan klakson, menciptakan simfoni kemarahan yang membuat suasana jalanan semakin panas dan tidak nyaman.

Dampak Buruk yang Sering Diabaikan

Kebiasaan ini membawa dampak negatif yang lebih luas dari sekadar kebisingan.

- Memicu Road Rage

Klakson agresif sering kali menjadi pemicu awal konfrontasi fisik di jalan. Apa yang dimulai dari adu klakson bisa berakhir dengan adu mulut hingga perkelahian.

- Polusi Suara

Tingkat kebisingan di perkotaan sudah sangat tinggi. Raungan klakson yang tidak perlu memperparah polusi suara, yang terbukti secara ilmiah dapat meningkatkan level stres dan mengganggu kesehatan.

- Menciptakan Lingkungan Berkendara yang Toksik

Alih-alih menjadi ruang bersama yang aman, jalanan berubah menjadi arena kompetisi yang penuh kecurigaan dan permusuhan.

Saatnya Mengembalikan Fungsi Klakson dan Akal Sehat

Mengubah budaya ini memang tidak mudah, tapi bukan berarti tidak mungkin. Perubahan harus dimulai dari kesadaran setiap individu.

Sebelum menekan klakson, coba tanyakan pada diri sendiri. "Apakah ini benar-benar perlu? Apakah ini akan menyelesaikan masalah atau justru memperburuknya?"

Belajar untuk menarik napas dalam-dalam, memutar musik yang menenangkan, dan memahami bahwa semua orang di jalan memiliki tujuan yang sama—sampai ke tujuan dengan selamat—adalah langkah kecil yang bisa kita lakukan.

Jalanan adalah cermin peradaban sebuah bangsa. Mari kita mulai menjadikan jalanan kita lebih beradab, satu klakson yang tidak kita bunyikan pada satu waktu.

Bagaimana pengalamanmu dengan budaya klakson ini? Pernah jadi korban atau jangan-jangan pelaku?

Yuk, ceritakan pendapatmu di kolom komentar dan mari kita mulai diskusi untuk jalanan yang lebih manusiawi!

Load More