Scroll untuk membaca artikel
Muhammad Yunus
Kamis, 26 Juni 2025 | 21:32 WIB
Ilustrasi: Suasana sidang sengketa Pilkada di Mahkamah Konstitusi, Kamis (9/1/2025). (Suara.com/Dea)

SuaraSulsel.id - Mahkamah Konstitusi (MK) akhirnya memutuskan melanjutkan perkara Perselisihan Hasil Pemilihan Umum (PHPU) Pemilihan Suara Ulang (PSU) Pilkada Kota Palopo ke tahap pembuktian.

Keputusan ini menjadi babak baru dalam drama politik Palopo yang kembali memanas pasca PSU 24 Mei 2025.

Dalam sidang putusan sela yang digelar di Gedung MK, Jakarta, Kamis (26/6/2025), Hakim Konstitusi Saldi Isra menyampaikan bahwa perkara Nomor 326/PHPU.WAKO-XXIII/2025 atas Pilkada Wali Kota Palopo, dan perkara 327/PHPU.BUP-XXIII/2025 atas Pilkada Bupati Mahakam Hulu, dinyatakan layak untuk dilanjutkan ke sidang lanjutan dengan agenda pembuktian.

“Dengan adanya pengucapan satu putusan tadi, berarti perkara lain, yaitu perkara 326 untuk Wali Kota Palopo serta 327 untuk Bupati Mahakam Hulu akan dilanjutkan ke sidang pemeriksaan lanjutan,” kata Saldi Isra saat membacakan putusan, yang dipantau publik melalui kanal YouTube MK.

Baca Juga: MK Putuskan Pemilu Nasional dan Daerah Dipisah, Apa Bedanya?

Sidang pembuktian yang dimaksud akan menghadirkan saksi-saksi, ahli, serta para pihak yang terlibat langsung dalam sengketa tersebut.

Ini menjadi ruang penting untuk menguji dalil, bukti, dan narasi yang selama ini berkembang di publik.

Gugatan dari Paslon RMB-ATK

Permohonan sengketa Pilkada Palopo ini diajukan oleh pasangan calon nomor urut 3, Rahmat Masri Bandaso - Andi Tenri Karta (RMB-ATK).

Dalam gugatannya, RMB-ATK mempersoalkan dugaan pelanggaran administrasi yang dilakukan pasangan calon nomor urut 4, Naili Tahir - Akhmad Syarifudin (Naili-Ome).

Baca Juga: MK Ubah Aturan: Sekolah Swasta Kini Gratis! Lalu, Nasib Guru Swasta Bagaimana?

Salah satu poin utama yang dipersoalkan adalah status hukum Ome yang disebut sebagai mantan narapidana.

RMB-ATK mendalilkan bahwa status hukum tersebut tidak dipublikasikan secara terbuka melalui media massa.

Pada saat pendaftaran pencalonan seperti yang dipersyaratkan.

Publikasi baru dilakukan setelah rekomendasi dari Bawaslu Kota Palopo keluar.

Tak hanya itu, mereka juga mempersoalkan dokumen SPT Pajak atas nama Naili Tahir.

Dalam dokumen pencalonan, SPT yang digunakan bertanggal 25 Februari 2025, sementara SPT terakhir yang tercatat di sistem pajak adalah 6 Maret 2024.

Hal ini dinilai sebagai bentuk ketidaksesuaian dan bisa mengarah pada pemalsuan atau manipulasi dokumen administratif.

Masalah Kedudukan Hukum

Namun demikian, posisi hukum RMB-ATK untuk mengajukan gugatan juga mendapat sorotan.

Majelis menyampaikan bahwa dalil perselisihan hasil dari RMB-ATK tidak memenuhi ambang batas sebagaimana diatur dalam Pasal 158 ayat 2 Undang-Undang Pemilihan.

Pasal tersebut mengatur bahwa pasangan calon yang boleh menggugat hasil pilkada adalah yang memperoleh selisih suara maksimal 2 persen dari pemenang.

Berdasarkan data, perolehan suara RMB-ATK tidak memenuhi syarat tersebut.

Meski begitu, karena fokus gugatan mereka adalah dugaan pelanggaran administrasi pencalonan, MK tetap melanjutkan perkara ini ke tahap pembuktian.

Kilas Balik: PSU dan Putusan Sebelumnya

Sengketa Pilkada Palopo bukan kali ini saja masuk ke meja MK. Sebelumnya, MK mengeluarkan putusan Nomor 168/PHPU.WAKO-XXIII/2025 atas gugatan dari paslon nomor urut 2, Farid Kasim - Nurhaenih.

Dalam gugatan tersebut, mereka mempersoalkan pencalonan Trisal Tahir, yang kemudian terbukti menggunakan ijazah yang tidak resmi atau tidak terdaftar di Dinas Pendidikan.

Atas putusan tersebut, MK memerintahkan Komisi Pemilihan Umum (KPU) Kota Palopo untuk melaksanakan pemungutan suara ulang (PSU) tanpa mengikutsertakan Trisal Tahir. PSU pun digelar pada 24 Mei 2025.

Namun, hasil PSU justru memunculkan konflik baru yang kini dibawa kembali ke MK.

Menanti Jalan Terang

Keputusan MK untuk melanjutkan perkara ini menunjukkan bahwa masih ada ruang keadilan bagi masyarakat dan para kontestan politik lokal.

Palopo menjadi contoh bagaimana dinamika politik lokal bisa sangat kompleks, bahkan harus dua kali bertarung dalam satu periode pilkada.

Tahapan pembuktian menjadi krusial, karena di sinilah kebenaran diuji, baik dari sisi hukum maupun etika demokrasi.

Masyarakat pun menanti. Apakah PSU benar-benar membawa penyelesaian, atau justru membuka babak baru konflik berkepanjangan?

Yang pasti, proses ini akan menjadi pembelajaran penting bagi para calon kepala daerah, penyelenggara pemilu, dan masyarakat, bahwa demokrasi bukan sekadar soal menang-kalah, tapi juga soal kejujuran, transparansi, dan integritas.

Load More