Scroll untuk membaca artikel
Muhammad Yunus
Selasa, 10 Juni 2025 | 16:17 WIB
Patung Tuhan Yesus tertinggi di dunia dibangun di Kabupaten Tana Toraja, Sulawesi Selatan. Foto diambil pada Selasa 17 Agustus 2021 [SuaraSulsel.id / Istimewa]

SuaraSulsel.id - Sekretaris Forum Kerukunan Umat Beragama (FKUB) Kabupaten Tana Toraja, Tamrin Lodo, mengaku pihaknya tidak pernah menerima konfirmasi ataupun permohonan rekomendasi.

Terkait pembangunan musala di kawasan Objek Wisata Religi Patung Tuhan Yesus Memberkati di Kelurahan Buntu Burake, Kecamatan Makale.

Sebelumnya, ramai penolakan soal rencana pembangunan tersebut.

Menurut Tamrin, FKUB justru mengetahui informasi pembangunan tersebut dari pemberitaan media.

Baca Juga: Terungkap! Penyebab Karyawan Perempuan Tewas Tergantung di Kamar Kos Makassar

"Kami hanya tahu dari media. Tidak ada konfirmasi sama sekali dari panitia pembangunan," kata Tamrin saat dikonfirmasi, Selasa, 10 Juni 2025.

Ia menegaskan, hingga saat ini FKUB Tana Toraja tidak pernah dilibatkan dalam proses perencanaan maupun pemberian rekomendasi.

Padahal, hal tersebut merupakan syarat penting dalam pendirian rumah ibadah berdasarkan peraturan yang berlaku.

Tamrin menambahkan, pihaknya telah meminta agar kegiatan pembangunan musala tersebut dihentikan sementara.

Ia juga mengimbau semua pihak agar menjaga semangat toleransi dan saling menghormati antarumat beragama demi menjaga stabilitas sosial di wilayah Toraja.

Baca Juga: 15 Tahun Diabaikan, Warga Tana Toraja Patungan Perbaiki Jalan Rusak: Pemerintah ke Mana?

"Kami berharap semua pihak bisa menahan diri dan mengutamakan dialog. Toraja ini dikenal dengan toleransinya, dan itu harus dijaga bersama," ujarnya.

Dianggap Cederai Toleransi

Sementara itu, puluhan anggota Gerakan Mahasiswa Kristen Indonesia (GMKI) Cabang Tana Toraja menggelar aksi unjuk rasa di Makale pada hari yang sama.

Dalam aksinya, mereka mendesak Kepala Kepolisian Daerah (Kapolda) Sulawesi Selatan untuk segera mencopot AKBP Budi Hermawan dari jabatannya sebagai Kapolres Tana Toraja.

Desakan ini mencuat menyusul keikutsertaan AKBP Budi Hermawan dalam prosesi peletakan batu pertama pembangunan musholla pada Minggu, 8 Juni 2025 kemarin.

GMKI menilai, tindakan tersebut mencerminkan kelalaian serius terhadap prosedur hukum serta ketidakpekaan terhadap konteks sosial masyarakat setempat.

"Peletakan batu pertama oleh Kapolres adalah bentuk keterlibatan aktif yang tidak bisa dianggap netral. Ini bukan hanya soal ketidakhadiran izin, tapi soal ketidakpekaan terhadap konteks sosial dan religius masyarakat Toraja," tegas Ketua GMKI Tana Toraja, Nopen Kessu.

GMKI juga menyoroti absennya dokumen legal yang seharusnya menjadi syarat utama pembangunan rumah ibadah.

Hal ini sudah diatur dalam Peraturan Bersama Menteri Agama dan Menteri Dalam Negeri Nomor 9 dan 8 Tahun 2006.

Dalam aturan tersebut, pendirian rumah ibadah harus memenuhi sejumlah persyaratan.

Termasuk kebutuhan nyata jemaat, persetujuan warga sekitar, daftar pengguna sebanyak minimal 90 orang yang dibuktikan dengan KTP, serta rekomendasi tertulis dari FKUB dan Kantor Kementerian Agama setempat.

Menurut GMKI, pelanggaran terhadap prosedur tersebut bukan sekadar kelalaian administratif.

Namun juga berpotensi mencederai harmoni antarumat beragama yang selama ini menjadi identitas penting masyarakat Toraja.

"Tindakan itu ceroboh dan sangat berisiko. Ini bukan soal siapa membangun apa, tapi soal bagaimana menjaga kerukunan. Jangan biarkan satu tindakan menimbulkan luka yang dalam," ucap Nopen.

GMKI pun menyerukan agar aparat penegak hukum tidak membiarkan ketegangan ini berlarut-larut.

Mereka menuntut adanya evaluasi menyeluruh terhadap proses pembangunan yang dianggap cacat prosedur sejak awal.

"Kapolres telah melangkahi mekanisme yang berlaku dan justru menambah ketegangan. Karena itu, kami meminta Kapolda Sulsel untuk segera mengambil langkah tegas mencopot beliau dari jabatan Kapolres Tana Toraja," tutup Nopen.

Warga Sepakat Hentikan

Sebelumnya, masyarakat Kelurahan Buntu Burake telah menyampaikan protes atas pembangunan musholla tersebut.

Dalam pertemuan mediasi yang digelar beberapa hari lalu, warga bersama pihak keluarga pemrakarsa pembangunan mencapai lima kesepakatan penting.

Salah satunya adalah pengakuan dari pihak keluarga bahwa pembangunan tidak pernah disosialisasikan secara terbuka. Warga juga sepakat bahwa pembangunan musala tersebut harus dihentikan dan dibongkar.

"Iya, sudah sepakat dihentikan," kata Tamrin Lodo.

Mereka mendesak pemerintah daerah dan kepolisian untuk bersikap lebih bijak, adil, dan responsif dalam menyikapi persoalan yang dinilai menyentuh ranah sensitif toleransi beragama.

Seruan agar kerukunan tetap dijaga juga digaungkan GMKI dalam aksi mereka. Organisasi mahasiswa ini berharap seluruh elemen masyarakat dapat menahan diri dan menghindari tindakan provokatif yang dapat memperkeruh situasi.

"Sekarang saatnya kita semua menunjukkan bahwa Toraja tetap menjadi rumah damai bagi semua. Tapi itu tidak bisa tercapai tanpa keadilan, keterbukaan, dan penghormatan terhadap aturan bersama," pungkas GMKI dalam pernyataan tertulisnya.

Kontributor : Lorensia Clara Tambing

Load More