SuaraSulsel.id - Bagi JS (35 tahun), menjadi honorer di lingkungan Pemerintah Provinsi Sulawesi Selatan bukan sekadar pekerjaan.
Itu adalah bentuk pengabdian, tempat ia menambatkan harapan hidup selama lebih dari 11 tahun.
Namun, semua itu kini hanya tinggal kenangan. Surat edaran yang ia terima pada akhir Mei 2025 mengakhiri masa pengabdiannya secara mendadak.
"Waktu itu hari Rabu, tanggal 28 Mei. Saya tahu dari teman. Dia kirimkan surat edaran itu. Katanya kita semua honorer yang tidak lolos PPPK akan disetop gajinya dan dirumahkan," ujarnya sambil terisak menahan tangis, Selasa, 10 Juni 2025.
JS mengawali kariernya sebagai tenaga honorer pada 2014.
Awalnya, ia ditempatkan di bagian Humas, kemudian berpindah ke Biro Administrasi Pimpinan (Adpim), dan terakhir kembali ke Humas setelah kedua unit OPD tersebut dilebur.
11 tahun bukan waktu yang singkat untuk sebuah pekerjaan tanpa status tetap. Tapi JS menjalaninya dengan loyalitas yang tak diragukan.
"Dari pertama masuk itu saya digaji Rp 1,2 juta. Naik perlahan-lahan, terakhir dapat Rp 2,5 juta per bulan," katanya.
Istrinya pun bekerja. Tapi nasib mereka tak jauh berbeda. Tak ada kepastian soal status kepegawaian mereka.
Baca Juga: Tak Ada Lagi Gaji, Nasib Ribuan Honorer Sulsel Dihapus Sistem
"Istri saya juga masih honor, kerja di Kajang, Bulukumba. Ya, sama-sama belum ada kepastian juga," lanjutnya.
JS bukan satu-satunya. Ia adalah bagian dari 2.017 honorer Pemprov Sulsel yang tak lolos seleksi Pegawai Pemerintah dengan Perjanjian Kerja (PPPK) dan kini harus menerima kenyataan.
Mereka diberhentikan dari pekerjaan yang selama ini menjadi sandaran hidup.
Ia mengaku sempat ikut seleksi PPPK tahap pertama. Namun ia tak kebagian kuota.
Katanya, tak ada bimbingan khusus, tak ada pendampingan dari dinas, dan yang paling membuatnya kecewa, tidak ada pembelaan dari pihak instansi.
"Harusnya bagian kepegawaian itu tegas dan membantu. Tapi kami ini dilepas seperti anak ayam. Disuruh cari jalan sendiri," katanya dengan nada getir.
Ketiadaan komunikasi resmi dari dinas pun membuat situasi semakin menggantung.
Sejauh ini, ia hanya mendengar pernyataan Kepala Badan Kepegawaian Daerah (BKD) Sulsel, Sukarniaty Kondolele di media massa yang meminta honorer tidak lolos PPPK untuk berhenti bekerja.
JS menyebut hingga kini ia juga belum mendapatkan surat resmi pemberhentian.
Tidak ada penjelasan langsung, tidak ada ruang klarifikasi, tidak pula opsi untuk masa transisi. Yang ada hanyalah pengumuman sepihak yang disampaikan secara pasif.
Bertahan di Tengah Ketidakpastian
Dengan penghasilan utama yang mendadak terputus, JS kini harus berpikir keras bagaimana caranya tetap bertahan hidup.
Meski belum punya anak, kebutuhan rumah tangga tetap berjalan. Dan beban batin karena merasa tidak dihargai setelah bertahun-tahun mengabdi, justru yang paling berat dipikul.
"Jadi kepikiran semuanya sampai saya sakit," terangnya.
Ketika ditanya apakah ia sudah punya rencana ke depan, JS hanya menggeleng pelan.
"Tapi mau tidak mau harus ki cari pekerjaan. Tidak mungkin juga (berharap ke istri). Gaji istri saya (tidak) seberapa" ucapnya.
Harapan JS kini hanya satu. Setidaknya ada kejelasan. Kalau pun tak bisa dipekerjakan kembali, ia berharap ada solusi yang manusiawi.
Ia berharap Pemprov Sulsel bisa mengupayakan solusi bagi orang-orang yang telah bertahun-tahun menjadi tulang punggung di birokrasi tanpa pengakuan formal.
"Saya sempat dengar ada solusi, tapi sampai sekarang belum ada kabarnya. Kalau memang tidak ada, ya diterima. Namanya juga rezeki, tidak ada yang tahu. Tapi berat memang," katanya.
Potret Ketimpangan dan Janji Pemerintah
Kasus seperti JS bukanlah yang pertama. Di tengah kebijakan penyederhanaan tenaga non-ASN, ribuan honorer di seluruh Indonesia menghadapi nasib serupa.
Ironisnya, banyak di antara mereka justru adalah pekerja yang selama ini menopang sistem, mengisi kekosongan, dan bekerja sepenuh hati meski tanpa jaminan karier.
Kini, setelah puluhan tahun mengabdi, JS harus memulai lagi dari nol.
Ia tak tahu akan bekerja di mana. Apalagi di tengah kondisi seperti sekarang ini. Angka pengangguran terus meningkat membuat persaingan untuk mendapatkan pekerjaan semakin sulit.
Tapi satu hal yang pasti ia percaya bahwa kehilangan pekerjaan bukan hanya kehilangan penghasilan. Tapi juga kehilangan identitas sebagai orang yang selama ini bekerja keras di balik birokrasi.
Kontributor : Lorensia Clara Tambing
Berita Terkait
Terpopuler
- KPU Tak Bisa Buka Ijazah Capres-Cawapres ke Publik, DPR Pertanyakan: Orang Lamar Kerja Saja Pakai CV
- Cara Edit Foto Pernikahan Pakai Gemini AI agar Terlihat Natural, Lengkap dengan Prompt
- Anak Jusuf Hamka Diperiksa Kejagung Terkait Dugaan Korupsi Tol, Ada Apa dengan Proyek Cawang-Pluit?
- Dedi Mulyadi 'Sentil' Tata Kota Karawang: Interchange Kumuh Jadi Sorotan
- Ditunjuk Jadi Ahli, Roy Suryo Siapkan Data Akun Fufufafa Dukung Pemakzulan Gibran
Pilihan
-
Belajar dari Cinta Kuya: 5 Cara Atasi Anxiety Attack Saat Dunia Terasa Runtuh
-
Kritik Menkeu Purbaya: Bank Untung Gede Dengan Kasih Kredit di Tempat yang Aman
-
PSSI Diam-diam Kirim Tim ke Arab Saudi: Cegah Trik Licik Jelang Ronde 4 Kualifikasi Piala Dunia 2026
-
Pemain Eropa Telat Gabung, Persiapan Timnas Indonesia Terancam Kacau Jelang Hadapi Arab Saudi
-
PSSI Protes AFC, Wasit Laga Timnas Indonesia di Ronde 4 Kok dari Timur Tengah?
Terkini
-
Kementerian PU Janji Bangunan Baru DPRD Makassar Anti Gempa dan Kebakaran
-
Air Mata di Balik Layar Prostitusi Online Michat
-
Rayakan Ultah, Alfamart Bagi-Bagi Umroh & Emas Gratis! Mau?
-
Kementerian PU Siapkan Rp99 Miliar Bangun Gedung DPRD Sulsel
-
BPK Sidak Belanja Daerah Sulawesi Selatan, Ini Hasilnya!