Scroll untuk membaca artikel
Muhammad Yunus
Rabu, 19 Maret 2025 | 15:42 WIB
Kapolrestabes Makassar Kombes Pol Arya Perdana [SuaraSulsel.id/ Lorensia Clara]

SuaraSulsel.id - Kepala Kepolisian Resor Kota Besar Makassar, Kombes Pol Arya Perdana mencopot Iptu Hartawan dari jabatannya sebagai Kepala Unit Perlindungan Perempuan dan Anak (PPA).

Hartawan disebut terbukti melanggar kode etik kepolisian dengan mendamaikan kasus pelaku dan korban tindak pidana kekerasan seksual.

"Iya, sudah dicopot. Kami menemukan ada dugaan tindakan yang melanggar kode etik dalam rangka perdamaian pelapor dan terlapor," kata Arya di kantor Gubernur Sulsel, Rabu, 19 Maret 2025.

Kasus ini terungkap saat kerabat korban bernama Linda dipanggil ke Polrestabes Makassar untuk dimintai keterangan atas pelaporan kasus kekerasan seksual.

Baca Juga: Proyek Kereta Api Makassar - Parepare Mangkrak? Ini Penjelasan Menteri Perhubungan

Namun, ia malah diinterogasi agar korban bisa berdamai dengan pelaku. Upaya damai itu rencananya ditempuh dengan meminta uang Rp10 juta ke pelaku sebagai ganti rugi.

Namun, kata Arya, Hartawan belum menerima uang yang dikeluarkan baik oleh korban maupun pelaku.

Walau demikian, Hartawan akan tetap diperiksa oleh Propam Polres Makassar karena dianggap melanggar sebab meminta uang.

"Yang bersangkutan dicopot dari jabatannya sehari setelah berita keluar. Pemeriksaan akan dilanjutkan sampai tuntas," tegasnya.

Arya mengingatkan kepada seluruh penyidik dan anggota Polrestabes Makassar agar profesional dalam menangani setiap perkara. Ia tak ingin kasus serupa kembali terjadi.

Baca Juga: Waspada Calo! Polisi Imbau Pemudik di Pelabuhan Makassar Jelang Puncak Arus Mudik

Ia meminta seluruh personel untuk memahami metode dan standar operasional prosedur (SOP) yang berlaku. Agar setiap kasus bisa ditangani dengan baik sesuai aturan.

Dengan begitu, kata Arya, Kepolisian bisa menjadi tempat yang nyaman bagi masyarakat untuk mencari keadilan. Kepercayaan publik terhadap polisi juga bisa meningkat.

"Lakukan pelayanan dengan baik dan tulus kepada masyarakat," tegasnya.

Sebelumnya, peristiwa bermula saat seorang anak di bawah umur berinisial AN (16) di kota Makassar, Sulawesi Selatan jadi korban kekerasan seksual.

Tante korban, Linda, mengatakan, ia melaporkan seorang pelaku pencabulan ke Polrestabes Makassar pada 6 Februari 2025.

Laporan bernomor LP/B/219/II/2025/SPKT/POLRESTABES MAKASSAR/POLDA SULAWESI SELATAN itu ditangani oleh Unit PPA Polrestabes Makassar.

Parahnya, kasus ini diminta damai oleh Kanit Perlindungan Perempuan dan Anak Polrestabes Makassar.

"Tapi saya tidak mau damai. Dia tanya, "alasan apa kau tidak mau damai?". Jadi saya bilang, saya mau (proses) hukum. Saya ingin keadilan," kata Linda saat mendatangi kantor UPT PPA Makassar, Selasa, 11 Maret 2025 lalu.

Linda mengaku Kepala Unit PPA, Iptu Hartawan memintanya untuk melakukan negosiasi dengan pelaku. Kasus ini bisa dibayar Rp10 juta agar pelaku tak ditahan.

Uangnya kemudian dibagi dua dengan Hartawan.

"Dia anjurkan agar minta uang Rp10 juta ke pelaku, sedangkan keluarga korban tidak tahu mau bilang apa. Dia sendiri (Hartawan) yang tentukan nominalnya Rp10 juta terus bagi dua dengan dia. Bagi dua antara korban dengan pak Kanit," bebernya.

Linda menambahkan, korban sempat dibujuk agar mau menerima uang tersebut. Alasannya untuk beli baju lebaran.

"Dia bilang lagi (ke korban) butuh ko itu baju lebaran," ucapnya.

Namun, keluarga korban tetap berupaya menempuh jalur hukum untuk kasus tersebut. Keluarga juga meminta bantuan UPTD PPA Pemkot Makassar untuk menindaklanjuti kasus ini.

Ketua Tim Unit Reaksi Cepat (TRC) UPTD PPA Kota Makassar, Makmur mengaku melaporkan kasus ini ke Polda Sulsel.

Pemkot mengecam keras intervensi dari Kanit PPA yang diduga memaksakan perdamaian dalam kasus kekerasan seksual dan mengarahkan korban untuk meminta uang ke pelaku.

Iptu Hartawan Membantah

Saat dikonfirmasi beberapa waktu lalu, Hartawan membantah keras meminta uang dan mengatur damai perkara tersebut.

Ia mengaku hanya menjelaskan ke keluarga korban jika terduga pelaku belum bisa ditetapkan jadi tersangka karena butuh dua alat bukti untuk kasus tersebut naik ke tahap penyidikan.

"Tudingan itu tidak benar. Keluarga korban ingin terlapor langsung ditahan tapi kami tegaskan ini masih tahap penyelidikan. Butuh dua alat bukti untuk naik penyidikan," ujarnya.

Kendati membantah, Hartawan tidak ingin menuntut balik keluarga korban dengan laporan pencemaran nama baik. Hingga akhirnya ia dicopot dari jabatannya dan ditempatkan di bagian Pelayanan Markas.

"Ini saya anggap hanya miss komunikasi," sebutnya.

Kontributor : Lorensia Clara Tambing

Load More