Sanksinya berupa teguran, denda administratif senilai Rp18,6 juta per hektare, penghentian sementara kegiatan, penutupan lokasi hingga pencabutan dokumen KKPRL.
"Melalui pengawasan, pengamatan, penelitian dan pemeriksaan (wasmalitrik) perlu pengenaan sanksi pidana," tegasnya.
Dengan adanya temuan ini audit lingkungan dan audit tata ruang sangat perlu untuk mengungkap dalang di balik pembangunan tersebut.
Menurut Yusran, pelanggaran tata ruang hasil reklamasi secara ilegal adalah tindakan yang melanggar ketentuan dan peraturan yang berlaku dalam penggunaan dan pengelolaan ruang. Termasuk penggunaan lahan, bangunan, dan infrastruktur.
Misalnya, pembangunan di atas lahan yang tidak sesuai dengan peruntukannya. Penggunaan lahan untuk kegiatan yang tidak sesuai dengan izin yang diberikan. Pembangunan infrastruktur yang tidak sesuai dengan rencana tata ruang.
Lalu, penggunaan bangunan untuk kegiatan yang tidak sesuai dengan peruntukannya. Pembangunan bangunan yang tidak sesuai dengan standar keselamatan dan kesehatan.
Menurutnya, itu akan berdampak pada kerusakan lingkungan hidup, kehilangan fungsi ruang, konflik sosial dan ekonomi, hingga bahaya keselamatan dan kesehatan.
"Perlu audit agar output-nya jelas, terang-benderang terkait indikasi pelanggaran pemanfaatan ruang yang melibatkan oknum aktor cerdas di belakang layar. Seperti praktek kotor mulainya terbit sertifikat HGB di Kantah ATR/BPN Makassar," ucapnya.
Sementara, yang tak kalah pentingnya adalah saat ini dan kedepannya adalah pengelolaan pertanahan untuk mewujudkan kesejahteraan rakyat dan menyelenggarakan penataan ruang yang adil, aman, nyaman, produktif dan lingkungan hidup yang berkelanjutan.
Baca Juga: Drama Pilkada Makassar: KPU Akui Tanda Tangan Tak Identik, Akankah PSU Terjadi?
"Peran Direktorat Jenderal Survei dan Pemetaan Pertanahan dan Ruang itu memastikan bahwa penyediaan informasi geospasial tematik pertanahan dan ruang dapat diberikan secara lengkap dan reliabel sehingga, mewujudkan terjaminnya kepastian hukum hak atas tanah dengan indikator capaian Indeks Ease of Doing Business (EoDB) khusunya pada registrasi property, pengurangan ketimpangan, serta kepastian dan perlindungan hukum hak atas tanah," jelasnya.
Kontributor : Lorensia Clara Tambing
Berita Terkait
Terpopuler
- Siapa Pencipta Sound Horeg? Ini Sosok Edi Sound yang Dijuluki Thomas Alva Edisound dari Jawa Timur
- Jelang Ronde Keempat, Kluivert Justru Dikabarkan Gabung Olympique Lyon
- Akal Bulus Dibongkar KPK, Ridwan Kamil Catut Nama Pegawai Demi Samarkan Kepemilikan Kendaraan
- Bupati Sleman Akui Pahit, Sakit, Malu Usai Diskominfo Digeledah Kejati DIY Terkait Korupsi Internet
- Pemain Keturunan Purwokerto Tiba di Indonesia, Diproses Naturalisasi?
Pilihan
-
Daftar 5 Mobil Bekas yang Harganya Nggak Anjlok, Tetap Cuan Jika Dijual Lagi
-
Layak Jadi Striker Utama Persija Jakarta, Begini Respon Eksel Runtukahu
-
8 Rekomendasi HP Murah Anti Air dan Debu, Pilihan Terbaik Juli 2025
-
Fenomena Rojali dan Rohana Justru Sinyal Positif untuk Ekonomi Indonesia
-
5 Rekomendasi HP 5G Xiaomi di Bawah Rp 4 Juta, Harga Murah Spek Melimpah
Terkini
-
Wagub Sulsel Tegas: Stunting Bukan Hanya Urusan Satu Instansi
-
Gubernur Andi Sudirman Serahkan Hibah Rp5 Miliar untuk Masjid Ikhtiar Unhas
-
8 Kru Kapal Selamat dari Maut Berkat Laporan Kapal Australia
-
Pemprov Sulsel Ajak Ibu-Ibu Cinta Buku KIA di Hari Anak Nasional 2025
-
Sulsel Kini Punya MICU, Rumah Sakit Bergerak Lengkap dengan Ruang Operasi