Scroll untuk membaca artikel
Muhammad Yunus
Selasa, 27 Desember 2022 | 04:48 WIB
Kafe Tulus berhasil membantu berdayakan disabilitas tuli. Kafe Tulus menjadi ruang inklusif, menjadi tempat belajar menerima dan menghargai perbedaan [SuaraSulsel.id/Istimewa]

SuaraSulsel.id - Riri berjalan ke sebuah perusahaan menenteng map berisi berkas- berkas untuk melamar pekerjaan. Baru menyodorkan berkasnya, orang- orang di perusahaan itu sadar kalau Riri tuli. Tanpa penjelasan, ia langsung ditolak.

Berbagai perusahaan ia datangi. Namun semuanya menolak dengan alasan Riri tuli. Berbagai penolakan Riri terima membuat tantenya yang tinggal di Palopo memanggilnya. Di sana Riri membantu membuat kue untuk dijual.

“Tahun 2006 itu saya tamat sekolah. Saya ingin mandiri, jadi cari- cari tempat kerja. Coba melamar kerja di hotel, di bagian- bagian gudang, tapi ditolak terus. Katanya mereka tidak mempekerjakan orang tuli. Karena susah dapat kerja di Makassar, tanteku panggil ke Palopo. Di sana bantu- bantu jual kue,” kenang Riri, Sabtu 1/10/2022 di Kafé Tulus.

Tahun 2019 Riri bertemu dengan Komunitas Berdaya Bareng. Komunitas yang berupaya memberdayakan penyandang disabilitas dan membantu meningkatkan kapasitas serta kapabilitas disabilitas.

Baca Juga: 4 Zodiak yang Dikenal Paling Pemaaf, Selalu Mau Memberi Kesempatan Kedua

Di komunitas itu Riri berkenalan dengan Didi, aktivis isu disabilitas. Riri banyak bercerita tantangan- tantangan yang dialaminya kepada Didi. Mendengar itu, Didi meresponnya dengan membuat program pelatihan yang menurutnya sesuai dengan teman tuli.

Pelatihan yang dibuat Didi dan teman- temannya adalah pelatihan barista. Barista dipilihnya karena skill ini bisa dipelajari dengan mengandalkan visual. Tentunya sangat cocok untuk teman tuli.

Selepas pelatihan, Didi mendatangi kafe- kafe yang ia kenal untuk bekerjasama merekrut teman tuli. Beberapa kafe yang ia datangi, menerima kerjasama itu. Riri sendiri ditempatkan di Kafe Lain Hati Makassar.

Menurut Didi, selain meragukan kemampuan teman- teman tuli, alasan lainnya kenapa perusahaan tidak mau menerima teman- teman tuli adalah takut salah mentreatment.

“Sebenarnya, iya banyak sih memang perusahaan suka menolak bahkan yang punya skill sekali pun. Ada satu kafe yang cukup terkenal di Makassar, saya pitching tapi ditolak. Alasannya, yah katanya tim mereka takut salah mentreatment teman- teman tuli ini. Jadi itu permasalahan intinya,” jelasnya.

Baca Juga: Bentuk 4 Karakter Circle Ini di Kampus agar Kamu Bahagia Sampai Lulus!

Fokus di bidang pemberdayaan dan pekerjaan disabilitas, Didi paham betul bagaimana cara membantu teman-teman disabilitas. Ketidaksiapan perusahaan menerima karyawan disabilitas membuat Didi dan teman temannya berusaha menjadi ‘gerbang’.

Salah satu ketidaksiapan tersebut adalah penggunaan Bahasa isyarat yang digunakan teman tuli.

Selama proses pitching ke perusahaan, Didi selalu menjelaskan kalau disabilitas itu juga berdaya. Ia tidak mau menjual kesedihan agar diterima, karena toh disabilitas juga berdaya.

Hanya saja, lingkungan masyarakat kadang tidak mendukung mereka. Sebagai penyandang disabilitas, Didi tahu sekali rasanya bagaimana diterima dan ditolak dalam suatu kelompok hanya karena perasaan kasihan atau dalam perspektif amal ibadah saja.

“Kalau pitching, saya bilang ke mereka, jangan terima karena merasa kasihan. Terima karena mereka bisa. It’s okay kalau mau cari amal ibadah, terserah. Tapi saya bawa teman- teman tuli ini, karena mereka bisa loh, bisa ngasih feedback. Mereka punya value. Saya juga disabilitas, saya tahu banget rasanya ketika diterima di suatu kelompok hanya karena kasihan,” jelas Didi, Human Relation Kafe Tulus.

Ruang Belajar Keberagaman dan Merasakan Kedamaian

Setelah Riri berhenti kerja di Kafe Kopi Lain Hati karena kafenya tutup, Didi memanggilnya kerja di Kafe Tulus. Cafe yang terletak di Jalan Ujung Bori Makassar ini memiliki konsep ramah terhadap teman- teman disabilitas.

Kafe Tulus berhasil membantu berdayakan disabilitas tuli. Kafe Tulus menjadi ruang inklusif, menjadi tempat belajar menerima dan menghargai perbedaan.

Salah satu non disabilitas, Anti yang sering berkunjung ke kafe ini sedikit demi sedikit bisa berbahasa isyarat.

Saat ditemui di Kafe Tulus, ia mengatakan awalnya tertarik dengan Bahasa isyarat ketika ia menyaksikan dua teman tuli yang saling berkomunikasi. Namun jarak mereka berjauhan. Anti takjub dengan hal itu.

“Hari itu saya duduk di sudut kafe. Terus saya lihat ada teman tuli yang duduk di sudut itu komunikasi dengan teman tuli yang lain di sudut berbeda. Sudut dengan sudut lah. Di situ saya takjub sekali. Wah, komunikasi mereka bisa tetap jalan tanpa harus mengeluarkan energi berteriak. Mereka diam tapi komunikasi tetap terjalin."

Sejak saat itu, Anti mulai terbuka dengan kehadiran teman- teman disabilitas. Sebelumnya ia memang selalu satu ruang dengan disabilitas. Misalnya saat ia dan teman- temannya membuat pelatihan animasi untuk disabilitas.

“Awalnya dari pelatihan animasi. Tapi di situ peranku tidak bagaimana sekali ji. Kulihat- lihat ji teman tuli belajar. Di sini pi kafe Tulus baru terbuka ka kurasa,” tutur Anti dalam logat Makassar.

Puncak keinginan Anti belajar bahasa isyarat ketika temannya yang merupakan Juru Bahasa Isyarat (JBI) itu ingin belajar mengaji.

Tujuannya, agar ia bisa mengajari teman tuli membaca Alquran. Itu rencana yang mereka buat. Namun konsep tersebut tidak berjalan sesuai yang mereka inginkan.

Saat Anti mengajari temannya itu mengaji, salah satu teman tuli yang kerap berkunjung ke kafe Tulus itu juga tertarik ikutan. Makin lama, makin banyak teman tuli yang ingin belajar mengaji.

“Kan rencananya saya ajari itu temanku yang JBI, terus nanti dia yang ajari teman tuli mengaji. Tapi makin lama makin banyak yang datang. Awalnya itu saya ajari teman tuli, ya mengandalkan gerakan bibir dan sedikit bahasa isyarat yang kutahu. Tapi lama kelamaan saya merasa kewalahan hanya dengan mengandalkan itu,” kenang Anti.

Salah satu teman tuli akhirnya merekomendasikan kelas belajar bahasa isyarat kepada Anti. Kelas berbayar dengan sepuluh kali pertemuan tersebut membuatnya paham dengan bahasa isyarat.

Ia membulatkan tekad belajar Bahasa isyarat karena menurutnya ia telah diberi privilege oleh Tuhan untuk dekat dengan disabilitas tuli. Untuk bisa berinteraksi dengan mereka, yah harus belajar Bahasa isyarat.

Lain halnya dengan Uki. Meskipun belum bisa menggunakan Bahasa isyarat, ia sangat suka datang ke Kafe Tulus. Saat mengerjakan tugas atau ingin menyelesaikan satu tulisan, Uki sapaan akrabnya memilih Kafe Tulus. Menurutnya ada kedamaian tersendiri yang ia rasakan Ketika melihat aktivitas di Kafe Tulus.

“Ada kedamaian tersendiri saat melihat aktivitas yang ada di sini. Ada satu momen yang kayak tidak ada sekali perbedaan. Saat itu saya melihat teman disabilitas berkomunikasi, kek harmoni sekali begitu e, kek ada kedamaian sendiri yang tiba- tiba kurasakan,” tutur Uki dalam dialek Makassar

Berdirinya Cafe Tulus

Berawal dari kegiatan Ekspedisi Nusantara Jaya di 2016 silam, beberapa peserta yang berasal dari Makassar akhirnya menjalin pertemanan. Dari nongkrong- nongkrong, mereka sepakat untuk membuat semacam komunitas yang dinamai Klas Film.

Di Klas Film ini, mereka sering mengikuti lomba video dan tidak jarang mereka menang. Sebagian hasil uang lomba mereka sisihkan untuk membeli perlengkapan audio visual yang lebih memadai.

Setelah perlengkapannya memadai, di tahun 2018 mereka membuat unit usaha. Menerima job seperti fotografi, videografi dan sebagainya. Klas Film terus berjalan. Mereka juga sering membuat proyek seperti latihan pembuatan animasi dengan sasaran targetnya adalah disabilitas.

Untuk mengumpulkan teman- teman disabilitas, ketua Klas Film Taufik meminta bantuan Didi yang merupakan aktivis yang fokus pada isu disabilitas.

Karena kelas animasi dan pelatihan lainnya dinilai kurang cocok dengan teman- teman tuli, akhirnya mereka membuat pelatihan barista yang sangat cocok dilakukan hanya dengan visual.

Pelatihan barista telah usai. Teman- teman disabilitas tuli telah mengantongi skill barista. Namun permasalahannya, tidak ada wadah.

Dalam satu momen, teman Klas Film berkumpul. Ternyata semua yang hadir memiliki keresahan dan misi yang sama, disabilitas yang termarginalkan. Akhirnya mereka mencoba bergerak mendirikan kafe untuk disabilitas.

“Waktu itu saya resign jadi balik ke Makassar. Jadi kumpul lagi sama teman- teman terus cerita- cerita, ternyata memiliki keresahan yang sama terkait disabilitas, makanya terbentuklah kafe Tulus,” jelas Zaenab, Head of Café and Finance Kafe Tulus.

Untuk mewujudkan misi mendirikan ruang bagi disabilitas, Zaenab dan teman- temannya mengajukan proposal ke PLN Peduli. Proposal itu diterima. Mereka dengan sigap bergerak mencari ruko, perlengkapan kafe dan interview barista dari pelatihan sebelumnya.

Setelah melakukan metode coba- coba, 16 Januari 2022 kafe Tulus resmi dibuka.

Dengan berdirinya kafe Tulus, Zaenab berharap ini bisa memberikan dampak yang lebih luas. Masyarakat bisa lebih peduli dengan isu disabilitas.

“Saya sangat bersyukur kalau makin banyak orang yang membantu teman- teman disabilitas untuk lebih menciptakan ruang- ruang aktualisasi diri, kompetensi dan lain- lain. Sama halnya dengan isu perempuan, semoga isu disabilitas juga dibahas oleh masyarakat umum agar keresahannya bisa dirasakan oleh semua orang,” harap Zaenab.

Disabilitas memang menjadi kelompok marjinal bukan hanya karena jumlah tapi juga terpinggirkan di ruang publik. Meskipun memiliki keterbatasan, disabilitas adalah orang yang berdaya.

Teman- teman disabilitas memiliki kemampuan namun terkadang tidak bisa dikembangkan karena hambatan dari lingkungannya. Salah satu bukti kalau disabilitas itu berdaya, yah barista di Kafe Tulus. Yuk, lebih aware dengan isu disabilitas! #JadiEmpatiKaloNgerti

Penulis: Irmalasari – Universitas Hasanuddin

Tulisan ini menjadi bagian dari program Workshop dan Story Grant Pers Mahasiswa yang digelar oleh Serikat Jurnalis untuk Keberagaman (SEJUK).

Load More