Namun, secara filosofi, alas kaki punya makna tersendiri bagi masyarakat Ammatoa. Warna hitam dipercaya memiliki arti kekuatan dan kesamaan derajat di hadapan sang pencipta. Menurut mereka, bersentuhan langsung dengan tanah menjadi pengingat bahwa kita berasal dari tanah dan akan kembali ke tanah.
4. Uji Kejujuran Dengan Bakar Linggis
Atunnu Panrolli atau bakar linggis adalah salah satu tradisi suku ini. Masyarakat suku Ammatoa melakukan Atunnu Panrolli untuk menguji kejujuran.
Biasanya dilakukan bagi masyarakat yang sedang berselisih dan tidak menemui titik temu. Linggis kemudian dibakar dalam api sampai memerah, lalu dibacai mantra.
Para tetua adat kemudian berkumpul dan memanggil pihak yang berselisih tadi. Mereka akan disuruh memegang linggis tersebut.
Yang berbohong tentu akan ketahuan karena tangannya akan melepuh. Begitupun sebaliknya, jika jujur maka tidak akan kesakitan sama sekali.
5. Harga Pakaiannya Mahal
Kendati tampil sederhana, fesyen masyarakat di suku Ammatoa ternyata harganya sangat mahal. Sarung tenun yang digunakan masyarakat sehari-hari disana dijual dengan harga fantastis. Harganya bisa sampai Rp1,2 juta setiap lembarnya.
Kami sempat menemui salah satu masyarakat yang sedang menenun, Juma. Alasan harganya mahal ternyata karena proses produksinya masih dilakukan secara tradisional.
Baca Juga: Akhirnya Warga Desa Adat Amma Toa Kajang Bulukumba Mau Membuat KTP
Satu sarung tenun saja, proses pengerjaannya, kata Juma, bisa sampai satu bulan. Pewarnanya juga tidak menggunakan bahan kimia, tapi pewarna alami dari pohon bernama Taru yang ditanam masyarakat sekitar.
Tenun jadi sumber pendapatan masyarakat Ammatoa. Semua perempuan juga diwajibkan pintar menenun. Selain lihai memasak, mereka harus bisa menenun terlebih dahulu sebelum menikah.
Hasil produksi itu kemudian akan dibawa ke kota untuk dijual. Tak hanya sarung tenun, masyarakat sekitar juga bertani dan berkebun. Saat panen, mereka akan berjalan kaki ke luar kawasan untuk menjual hasil buminya. Berjalan kaki tanpa menggunakan sendal atau sepatu.
6. Seluruh Rumah Menghadap ke Barat
Semua rumah di suku ini menghadap ke arah Barat. Secara simbolis, barat dipercaya sebagai tempat nenek moyang mereka berada. Konsep rumahnya juga seragam, rumah panggung dengan topangan tiang berjumlah 16 buah.
Material yang digunakan juga tidak boleh terbuat dari batu bata atau tanah. Membangun rumah dengan material tersebut adalah pantangan bagi mereka.
Berita Terkait
Terpopuler
- 7 Rekomendasi Motor Bekas di Bawah 10 Juta Buat Anak Sekolah: Pilih yang Irit atau Keren?
- Dua Rekrutan Anyar Chelsea Muak dengan Enzo Maresca, Stamford Bridge Memanas
- Harga Mepet Agya, Intip Mobil Bekas Ignis Matic: City Car Irit dan Stylish untuk Penggunaan Harian
- 5 Mobil Bekas 3 Baris Harga 50 Jutaan, Angkutan Keluarga yang Nyaman dan Efisien
- 5 Sepatu Lokal Senyaman Hoka Ori, Cushion Empuk Harga Jauh Lebih Miring
Pilihan
-
6 HP Memori 512 GB Paling Murah untuk Simpan Foto dan Video Tanpa Khawatir
-
Pemerintah Bakal Hapus Utang KUR Debitur Terdampak Banjir Sumatera, Total Bakinya Rp7,8 T
-
50 Harta Taipan RI Tembus Rp 4.980 Triliun, APBN Menkeu Purbaya Kalah Telak!
-
Agensi Benarkan Hubungan Tiffany Young dan Byun Yo Han, Pernikahan di Depan Mata?
-
6 Smartwatch Layar AMOLED Murah untuk Mahasiswa dan Pekerja, Harga di Bawah Rp 1 Juta
Terkini
-
5 Ide Liburan Keluarga Anti Bosan Dekat Makassar Sambut Akhir Tahun
-
WNA Asal Filipina Menyamar Sebagai Warga Negara Indonesia di Palu
-
Pelindo Regional 4 Siap Hadapi Lonjakan Arus Penumpang, Kapal, dan Barang
-
Hutan Lindung Tombolopao Gowa Gundul Diduga Akibat Ilegal Logging
-
61 Ribu Bibit 'Emas Hijau' Ditebar di Sulsel