Scroll untuk membaca artikel
Muhammad Yunus
Jum'at, 24 September 2021 | 15:48 WIB
Warga Desa Adat Amma Toa, Kajang, Bulukumba melakukan perekaman data e-KTP, Jumat 24 September 2021 [SuaraSulsel.id / Lorensia Clara Tambing]

SuaraSulsel.id - Puluhan warga duduk sabar menunggu di pendopo. Pintu masuk kawasan adat Amma Toa, Desa Tana Toa, Kecamatan Kajang, Kabupaten Bulukumba, Sulawesi Selatan.

Tidak banyak kata yang terucap di antara mereka. Hanya sesekali bercengkrama sambil menikmati pisang goreng.

Mereka menunggu giliran untuk mrekam data E-KTP atau KTP elektronik. Butuh bertahun-tahun meyakinkan masyarakat di sana agar mau merekam data untuk kartu tanda penduduk.

"Bagi mereka, buat apa saya urus KTP. Toh saya tidak punya BPJS, tidak urus yang lain," ujar Kepala Seksi Inovasi Dinas Kependudukan Catatan Sipil Kabupaten Bulukumba, Endang Mulyani, Kamis, 23 September.

Baca Juga: Soeharto Pesan 22 Kapal di Bulukumba Untuk Operasi Militer Papua

Warga Amma Toa umumnya tidak hafal tanggal lahir, hanya umur. Itu pun perkiraan saja. Mereka juga hanya memakai nama sapaan di e-KTP.

"Semua warga Amma Toa namanya tidak lebih dari satu kata. Hanya satu kata," tambahnya.

Cukup mudah mengenali masyarakat Amma Toa. Saat perekaman, mereka berpakaian serba hitam dan mengenakan Passapu' (pengikat kepala). Kewajiban masyarakat memang seperti itu.

"Dirjen Dukcapil sudah kasih kebijakan agar mereka bisa tetap pakai Passapu' karena itu tidak boleh dilepas," tuturnya.

Warga tersebut ada yang berasal dari Amma Toa luar, sebagian merupakan warga Amma Toa dalam. Endang mengatakan, ada 35 petugas yang bergantian melayani mereka melakukan pelayanan perekaman dan pencatatan e-KTP.

Baca Juga: Mantan Bupati Bulukumba Sukri Sappewali Mengaku Diberi Rp50 Juta oleh Agung Sucipto

"Perekaman dilakukan di dalam mobil. Jadi kita yang datangi mereka. Sebagai bagian pelayanan kami pada program inovasi perekaman masyarakat hukum adat atau ramah adat," ungkap Endang.

Partisipasi masyarakat Amma Toa di Desa Tana Toa, Kecamatan Kajang dalam perekaman data e-KTP memang termasuk cukup rendah selama ini. Pemicunya berupa latar belakang budaya.

Juga, e-KTP tak dipandang sebagai kebutuhan. Mereka tidak butuh akta kelahiran. Bukan sebagai kebutuhan.

Tapi, sebagai warga negara yang sah, mereka tentu harus tercatat secara administratif. Selama ini, kata Endang, mereka sering kerepotan saat mengurus administrasi.

Sebenarnya urusan pendaftaran e-KTP dengan metode jemput bola tersebut sudah dilakukan sejak tahun 2018. Tapi, hasilnya kurang maksimal.

Karena kerepotan yang dialami selama ini, Dukcapil kemudian berkoordinasi dengan organisasi sayap Nahdatul Ulama untuk dibantu dalam perekaman e-KTP langsung. Apalagi, ada target perekaman e-KTP yang harus selesai.

"Dan akhirnya saat ini sisa 70 orang dari wajib E-KTP di suku Amma Toa yang belum merekam. Salah satunya Amma (kepala suku) karena memang tidak bisa," ungkap Endang.

Warga Desa Adat Amma Toa, Kajang, Bulukumba antre melakukan perekaman data e-KTP, Jumat 24 September 2021 [SuaraSulsel.id / Lorensia Clara Tambing]

Tidak Kenal Baca Tulis

Salah satu operator perekaman dari Kadisdukcapil mengaku ada sejumlah kendala untuk mengintegrasikan masyarakat Amma Toa pada sistem pendataan di e-KTP yang sudah baku. Sebab, sebagian besar masyarakat tidak mengenal baca-tulis.

Untuk mengisi kolom tanda tangan, misalnya, mereka sekadar menuliskan garis horizontal atau vertikal. Ada pula yang menggambar spiral.

"Kita arahkan mereka tulis satu huruf di depan nama saja," bebernya.

Yang agak rumit adalah tanggal lahir. Ia menuturkan, orang Amma Toa tidak hafal tanggal lahir. Yang diingat hanya usia. Itu pun angka perkiraan saja.

Jadi secara acak dia bertanya kepada mereka yang hendak melakukan perekaman e-KTP. Pada saat ditanya umur, mereka terlihat berpikir agak lama.

Penentuan tanggal lahir warga Amma Toa telah dimulai pada tahun 2010, saat pendataan untuk buku induk kependudukan. Pihak Dukcapil dan perangkat desa lainnya menanyai identitas seluruh warga, termasuk tanggal lahir untuk menentukan nomor induk kependudukan (NIK).

Di dalam NIK itu tercatat tanggal, bulan, dan tahun lahir setelah kode provinsi, kabupaten, dan kecamatan. Tapi, jangankan tanggal lahir, tahun lahir saja mereka tidak tahu. Jadi, dengan berbekal data usia, ditarik mundur untuk menentukan tahun lahir.

"Tanggal lahirnya kita ambil dari database di desa," ungkapnya.

Senyumnya tetap berkembang saat melanjutkan ceritanya. Dia secara tidak langsung mengakui pendataan umur memang tidak sepenuhnya tepat.

Begitu pula soal nama. Sebenarnya sederhana bagi orang Amma Toa. Sebagaian besar nama mereka hanya satu kata dan mudah diucapkan.

Saat mereka sudah punya anak, biasanya seorang lelaki dipanggil dengan "Buto". Sedangkan perempuan disapa "Ombong".

Nah, karena sapaan itu, sudah menjadi sebutan secara umum. Terkadang mereka kebingungan untuk menentukan nama yang dicantumkan di e-KTP.

"Kami pernah ditegur Kemendagri karena dikira data anomali. Satu dusun punya nama bisa sama sampai tujuh orang seperti Ombong. Jika di Bugis-Makassar, artinya sama dengan Becce," ungkap Endang menambahkan.

Kepala Desa Tana Toa Abdul Salam merinci di wilayahnya ada sembilan dusun. Tujuh dusun diantaranya berada di dalam kawasan adat.

"Suku dalam ada 700 kepala keluarga, di luar ada 300 kepala keluarga. Kurang lebih 3.000 orang wajib KTP. Saat ini tersisa puluhan orang saja yang belum direkam, rata-rata pemula (baru 17 tahun)," tutur Abdul.

Warga Desa Adat Amma Toa, Kajang, Bulukumba melakukan perekaman data e-KTP, Jumat 24 September 2021 [SuaraSulsel.id / Lorensia Clara Tambing]

Mulai Sadar Administrasi

Warga Amma Toa mulai sadar administrasi. Maklum, selama ini mereka terkesan tertutup akan modernisasi.

Mereka kini mulai terbuka ke publik. Tidak hanya untuk perekaman e-KTP, tapi juga soal akta lahir dan administrasi kependudukan lainnya.

Salah satunya diungkap Ganing, warga Amma Toa dalam. Ia mengaku mau direkam agar anaknya bisa sekolah.

"Parallumi umuru'na assikolah," ungkapnya dengan bahasa daerah yang artinya anak harus sekolah.

Di depan gerbang kawasan adat, memang ada sekolah dasar dibangun. Anak-anak yang bermukim di dalam kawasan adat berjalan kaki tanpa menggunakan sendal atau sepatu. Sejauh satu kilo meter demi menempuh pendidikan.

Ganing mengatakan sudah didata waktu tahun 2013. Hanya saja masa berlaku e-KTP miliknya belum seumur hidup kala itu.

Ia harus menggantinya dengan yang baru. Katanya harus seumur hidup.

Saat Pilkada serentak lalu, kata Ganing, mereka juga ikut memilih.

"Nakke intu antoddo'i Jokowi, (saya mencoblos Jokowi)," ungka Ganing.

Kepala Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil Pemprov Sulsel Sukarniaty Kondolele mengatakan Pemprov Sulsel sangat mengapresiasi upaya pemerintah daerah. Mereka bisa melakukan pendekatan perspektif ke masyarakat Amma Toa agar mau direkam.

Upaya ini bahkan masuk dalam Top 30 inovasi yang diselenggarakan Kementerian Pendayagunaan Aparatur Sipil Negara dan Reformasi Birokrasi (Kemenpan RB). Perekaman e-KTP di Bulukumba bahkan melebihi target dari capaian nasional.

"Ini adalah bukti nyata bahwa inovasi tersebut bisa mempermudah pelayanan kepada masyarakat adat seperti di kawasan Amma Toa, karena layanan Dukcapil ini adalah pelayanan dasar untuk semua pelayanan publik khususnya di Indonesia," tukas Sukarniaty.

Kontributor : Lorensia Clara Tambing

Load More