Scroll untuk membaca artikel
Muhammad Yunus
Selasa, 17 Agustus 2021 | 06:00 WIB
Pasukan Tentara Republik Indonesia Persiapan Sulawesi di masa penjajahan Belanda [SuaraSulsel.id / Arsip Badan Perpustakaan Nasional]

SuaraSulsel.id - Perjuangan rakyat Enrekang melawan Belanda dipelopori pejuang Andi Abubakar Lambogo. Komandan Batalyon I Massenrempulu pada tahun 1947.

Proklamasi Kemerdekaan Indonesia pada 17 Agustus 1945 tidak serta merta mengakhiri perjuangan rakyat Indonesia. Rakyat harus tetap berjuang mempertahankan kemerdekaan yang akan direbut kembali oleh Belanda.

Kedatangan Belanda kembali karena merasa berhak atas Indonesia yang semula diambil alih oleh Jepang pada 1942. Kekalahan Jepang pada perang dunia II, alasan kuat bagi Belanda untuk merebut kembali Indonesia.

Baca Juga: Gempa Bumi Guncang Enrekang, Ini Penyebabnya

Abubakar Lambogo adalah salah satu pejuang yang kukuh menentang kedatangan kembali Belanda. Namun ia tertawan oleh militer Belanda pada tahun 1947.

Kapten Abubakar ditawan bersama beberapa anak buahnya di Desa Salu Wajo, Maiwa, Enrekang. Kepalanya dipenggal di hadapan publik.

Pemerintah Kerajaan Belanda pada September tahun 2020 lalu diwajibkan membayar ganti rugi atas kejahatan perang semasa agresi terhadap Abubakar Lambogo.

Pengadilan Sipil di Den Haag memerintahkan ganti rugi senilai €874,80 atau setara Rp 15 juta kepada kerabat Abubakar, Malik Abubakar.

Ricky Lambogo, cucu Abubakar mengatakan pihak keluarga menolak keputusan itu. Bagaimana bisa pembunuhan sadis dihargai dengan uang Rp 15 juta.

Baca Juga: Keju dari Air Susu Kerbau, Begini Cara Mudah Membuatnya

"Kami menolak dan tidak menerima uang itu," kata Ricky saat dihubungi SuaraSulsel.id.

Perjuangan keluarga Ricky mendapatkan keadilan tanpa dukungan dari pihak pemerintah ataupun TNI. Padahal, Abubakar sudah tercatat sebagai pejuang kemerdekaan RI sejak zaman Presiden RI, Soekarno.

Ricky mengungkap bagaimana kekejaman tentara Belanda terhadap kakeknya. Kisahnya bahkan tercatat dalam buku Bunga Rampai Perjuangan dan Pengorbanan Jilid IV.

Kisah Abubakar Lambogo juga diceritakan oleh Nawa, salah satu penyintas yang disebut masih hidup. Ricky mengaku masih sempat bertemu dengan Nawa tiga tahun lalu di Osso, Enrekang.

Nama Abubakar Lambogo diabadikan sebagai nama jalan di Kota Makassar, Sulawesi Selatan [SuaraSulsel.id / Lorensia Clara Tambing]

Nawa adalah salah satu saksi hidup yang tahu banyak soal perjuangan mereka melawan Belanda. Ia anak buah Kapten Abubakar Lambogo.

Ricky mengatakan kakeknya punya peranan penting dalam mempertahankan kemerdekaan RI. Sebelum bergabung dengan Tentara Republik Indonesia Persiapan Sulawesi (TRIPS), Abubakar adalah guru di sekolah rakyat pada masa penjajahan Belanda.

Abubakar memilih meninggalkan posisinya dan melawan bersama rakyat Massenrempulu. Ia kemudian membentuk organisasi bernama Kelaskaran Pemuda Nasional Indonesia (KPNI) di Enrekang pada tahun 1945.

Tujuan utama kelaskaran ini adalah untuk mempersatukan kekuatan para pemuda Massenrempulu untuk mempertahankan kemerdekaan.

Pada tahun 1946, Abubakar juga tergabung dalam Badan Pembentuk Rakyat Indonesia (BP-RI) dan Badan Pemberontak Republik Indonesia (BPRI). Organisasi pemuda ini salah satu yang ditakuti oleh Belanda.

"Saat itu rakyat masih trauma dengan Belanda. Dibentuklah organisasi pemuda itu," ujar Ricky.

Kendati Indonesia sudah menyatakan diri merdeka, Belanda kala itu masih bercokol di Indonesia. Gerakan Abubakar bersama pasukannya membuat tentara KNIL (Koninklijke Nederlands(ch)-Indische Leger atau Tentara Hindia-Belanda geram.

Pada 13 Maret 1947, dini hari, Abu Bakar bersama pasukannya sedang berada di Salu Wajo. Tanpa disadari, ternyata pasukan KNIL membuntuti kelompoknya.

Mereka dikabarkan tengah mandi saat KNIL menyerang di tengah kegelapan. Tanpa persiapan, mereka kemudian lari kalang kabut berpencar.

Akibat serbuan itu, Abubakar tertembak di bagian paha. Ia dan satu orang anggotanya tertangkap dan dibawa ke markas besar KNIL di Enrekang.

Oleh KNIL, pasukan Abubakar yang tertangkap kemudian diminta untuk bertemu dengan komandannya. Namun apa yang ditemui mereka ketika sampai di Pasar Enrekang. Kepala Kapten Abubakar sudah terpenggal.

Potongan kepala tanpa badan itu dipajang di bayonet yang terletak di pintu gerbang di pasar Enrekang. Pasukan Abubakar yang ikut tertangkap bahkan dipaksa satu per satu untuk mencium potongan kepala tersebut.

Tokoh Adat Massenrempulu Jupri juga mengatakan sebelum Abubakar Lambogo dibunuh, ia terlebih dahulu disiksa di luar batas perikemanusiaan. Padahal di tempat lain, jika yang tertangkap adalah pimpinan, maka mereka akan diberikan perlindungan dan diberikan perawatan.

"Namun hal ini justru berbanding terbalik dengan yang dialami komandan Abubakar Lambogo," ujar Jupri.

Menurutnya, bangkitnya rakyat Massenrempulu dalam melakukan perlawanan terhadap kedatangan kembali bangsa Belanda dilatar belakangi oleh beberapa hal. Salah satunya karena penderitaan yang dialami pada masa penjajahan, sehingga tidak menginginkan hal tersebut kembali terulang.

Konsep siri atau budaya malu yang dipahami rakyat Massenrempulu menjadi pendorong tersendiri untuk mengusir Belanda. Hal ini karena dijajah sama dengan menginjak-injak harga diri sebagai bangsa.

Di samping itu, Abubakar Lambogo sebagai pimpinan kelaskaran menjadi semangat tersendiri. Sebagai pimpinan, ia sangat dihormati dan dihargai Perintah yang diberikan akan dijunjung tinggi oleh masyarakat sekalipun nyawa menjadi taruhannya.

Setelah pimpinan kelaskaran Abubakar Lambogo dieksekusi tanpa pengadilan oleh pasukan westerling, semangat rakyat Massenrempulu tidak memudar. Bagi mereka, kemerdekaan adalah harga mati. Apapun risikonya.

"Maka setelah terbunuhnya pimpinannya maka kepemimpinan kemudian dilanjutnya oleh Andi Sose dengan kelaskaran Harimau Indonesia," ujar Jupri.

Hingga kini, kisah pilu yang dialami Abubakar Lambogo masih mendalam bagi masyarakat Massenrempulu. Selain ganti rugi yang layak, mereka juga menuntut maaf dari pemerintah Kerajaan Belanda.

Untuk menghormati jasanya, nama Abubakar Lambogo diabadikan sebagai jalan di Kota Makassar dan nama lapangan di Enrekang. Namun hingga kini nama Abubakar Lambogo belum pernah diusulkan menjadi pahlawan nasional.

Kontributor : Lorensia Clara Tambing

Load More