Scroll untuk membaca artikel
Eko Faizin
Sabtu, 14 Agustus 2021 | 10:04 WIB
Refly Harun. [Youtube]

SuaraSulsel.id - Seni mural selain memperindah pemandangan, kadang memuat pesan moral. Tak sedikit mural yang menyampaikan pesan kritik untuk respons kondisi yang sedang terjadi.

Selama pandemi, terutama penerapan PPKM Level 4, seni mural muncul di berbagai tempat. Salah satu seni gambar di dinding yang viral di media sosial adalah tulisan ‘Tuhan Aku Lapar’.

Namun tulisan tersebut tak lama dihapus. Mural sepanjang 12 meter tersebut dicat dengan tulisan berwarna putih di sebuah tembok beton hitam.

Viral Mural 'Tuhan Aku Lapar!!' di Tangerang. (Twitter/@txtdaritng)

Namun keberadaan mural itu tidak bertahan lama. Karena tembok bertuliskan mural ‘Tuhan Aku Lapar’ itu langsung dicat seluruhnya berwarna hitam.

Mural di sebuah tembok yang berada di pinggir jalan Tigaraksa, Kabupaten Tangerang, Banten merupakan sebuah pesan dari masyarakat.

Tak hanya di Kabupaten Tangerang, Banten, soal mural ‘Tuhan Aku Lapar’, sebab sebuah gambar di sebuah tembok di Pasuruan, Jawa Timur, mendadak dihapus.

Mural yang bertuliskan ‘Dipaksa Sehat di Negara yang Sakit’ itu juga sama, ikut viral di media sosial. Namun tak lama lenyap dicat polos. Publik pun tentu bertanya-tanya, apa yang salah?

Terkait penghapusan mural itu, pakar Hukum Tata Negara Refly Harun ikut angkat bicara. Menurut dia, memang agak cukup heran dengan fenomena dihapusnya mural viral ‘Tuhan Aku Lapar’ dan tulisan sejenis di berbagai wilayah.

Dia menyebut, bahwa setiap orang harus lihat secara paradigma antara kritik dan pujian itu punya nilai yang sama.

“Jangan sampai pemerintah dipuji mau tapi dikritik enggak mau. Itu soal substansinya, kebebasan orang nyatakan pendapat lisan, dan tulisan,” ujar Refly dikutip dari Hops.id--jaringan Suara.com, Sabtu (14/8/2021).

Walau begitu, Refly tentu tak berburuk sangka. Dia ikut mempertanyakan apakah daerah itu memang merupakan daerah yang dilarang coret-mencoret karena alasan lingkungan.

Atau justru sebaliknya, itu merupakan daerah yang masih boleh membuat mural seperti demikian.

“Harus pastikan dulu kalau tempat itu adalah tempat orang boleh sampaikan pesan, baik pujian atau kritik. Kalau kritik dihapus, pujian tak dihapus nah itu baru berarti ada inkonsistensi, berarti isi pesannya (yang salah),” katanya lagi.

Di kesempatan itu, Refly memang ikut mencurigai kalau ada unsur politik yang bermain di balik penghapusan mural dan sejenisnya di berbagai daerah. Ini berkaitan erat dengan petugas lapangan sampai petugas partai.

Tetapi yang digaris bawahi menurutnya, harus ada penjelasan secara tepat. Jangan sampai hanya sekadar subyektifitas yang tidak memiliki dasar hukum.

Load More