Scroll untuk membaca artikel
Chandra Iswinarno
Kamis, 29 Oktober 2020 | 18:59 WIB
Pengunjung mengabadikan foto yang dipajang di Museum Sumpah Pemuda, Jalan Kramat Raya No. 106, Jakarta, Rabu (28/10/2020). [Suara.com/Angga Budhiyanto]

SuaraSulsel.id - Peringatan Hari Sumpah Pemuda setiap tanggal 28 Oktober sebagai tonggak bersatunya seluruh pemuda di Indonesia dalam ikrar yang diucapkan perwakilan pemuda, ternyata tidak pernah dibacakan.

Klaim tersebut disampaikan penulis sekaligus sejarawan Batara Richard Hutagalung. Dia mengemukakan, meski peringatan Hari Sumpah Pemuda telah berlangsung selama 92 tahun, Batara Richard menemukan adanya fakta sejarah lain yang belum banyak diketahui publik.

Dari hasil penelitian yang ditulisnya berjudul "28 Oktober 1928: Tidak Ada Sumpah Pemuda" pada 17 Juli 2020, Batara Richard menyebut tidak ada pengucapan ikrar yang dilakukan oleh para pemuda.

Berdasarkan penelitian yang dilakukannya dengan dari hasil-hasil rapat Kongres Pemuda II, tidak ditemukan adanya pembacaan atau pengucapan ikrar.

Baca Juga: Profil Batara Richard, Sejarawan yang Sebut Tak Ada Sumpah Pemuda 1928

"Hasil pembahasan Kongres Pemuda II, yang pada waktu itu dalam bahasa Melayu dinamakan Kerapatan Pemuda-Pemudi Indonesia II diformulasikan sebagai resolusi," katanya kepada Suara.com, Kamis (29/10/2020).

"Tidak ada pembacaan sumpah atau ikrar bersama. Baru di tahun 1950-an hasil kerapatan pemuda ini dinamakan sebagai Sumpah Pemuda, untuk disejajarkan dengan Sumpah Palapa Gajah Mada, untuk kepentingan politik saat itu."

Ia menjelaskan, dalam Kerapatan Pemuda-Pemudi Indonesia II yang dihadiri oleh Sugondo Joyopusito, Joko Marsaid, Muhamad Yamin, Arif Syarifuddin dan beberapa tokoh lain itu, juga diikuti oleh masyarakat luas.

Rapat terbuka itu mengakibatkan membludaknya animo masyarakat yang hadir di sidang yang dilaksanakan selama dua hari. Tak tanggung-tanggung, saat itu 700-an orang memenuhi tempar sidang.

Meski begitu, hanya 80 orang yang tercatat sebagai peserta resmi yang mewakili 9 organisasi pemuda pribumi.

Baca Juga: Dikawal Ormas, Anies Konvoi Sepeda dari Rumah ke Museum Sumpah Pemuda

"Pada dasarnya, Kerapatan Pemuda II hanya menyempurnakan hasil dari Kerapatan Pemuda I dan beberapa pertemuan besar setelah Kerapatan Pemuda I serta belasan kali diskusi yang intensif di antara para pemuda dari organisasi-organisasi, baik yang terlibat dalam Kerapatan Pemuda I, maupun organisasi-organisasi yang dibentuk setelah Kerapatan Pemuda I."

"Gagasan membentuk Bangsa Indonesia dan mendirikan Negara Bangsa (Nation State) Indonesia, serta akan menggunakan Bahasa Indonesia, sebagai bahasa persatuan, dirumuskan dalam resolusi sebagai Putusan Kongres Pemuda II. Resolusi tersebut dibacakan oleh Ketua Sidang Sugondo Joyopuspito pada sidang ketiga, sidang terakhir tanggal 28 Oktober 1928," kata Batara.

Resolusi itu lah yang kini dikenal dengan naskah Sumpah Pemuda yang selalu dibaca setiap tanggal 28 Oktober.

Hanya, Batara menyoroti kesalahpahaman sejarah yang selama ini telah beredar luas di masyarakat Indonesia.

Ia menampik dahulu para tokoh yang terlibat dalam Kongres Pemuda itu membacakan dan mengikrarkan diri.

"Sudah waktunya lembaga-lembaga yang berwenang untuk penulisan-penulisan sejarah, terutama untuk buku-buku pelajaran mengenai sejarah di sekolah-sekolah, melakukan penelitian ulang dan menulis baru, bukan sekadar revisi tulisan lama, agar generasi mendatang tidak lagi membaca sejarah yang salah," kata dia dikutip dari tulisannya.

Penulis buku "Indonesia Tak Pernah Dijajah" ini juga meminta agar masyarakat dan media menonjolkan tokoh-tokoh lain yang sebenarnya punya andil besar dalam penyusunan hasil Kongres Pemuda II.

"Tokoh-tokoh yang sangat berperan sehingga terselenggaranya pertemuan besar yang sangat bersejarah tersebut di antaranya adalah Mohammad Tabrani Surjowitjitro dan Djamaluddin Adinegoro."

"Terbukti, bahwa Tabranilah yang pertama menggunakan nama Bahasa Indonesia, dan mengusulkan, agar nama bahasa yang akan dijadikan bahasa persatuan dari Bangsa Indonesia yang akan dibentuk, bukan Bahasa Melayu sebagaimana diusulkan oleh Muhammad Yamin, melainkan dinamakan Bahasa Indonesia," katanya.

Load More