Hak Barat Sudah Tidak Diakui, Nusron Wahid Siap Lawan Magdalena De Munnik di Makassar

Kasus gugatan lahan seluas 52 hektar di Kecamatan Manggala, Kota Makassar, oleh keturunan Belanda

Muhammad Yunus
Kamis, 13 November 2025 | 13:48 WIB
Hak Barat Sudah Tidak Diakui, Nusron Wahid Siap Lawan Magdalena De Munnik di Makassar
Menteri Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional (ATR/BPN), Nusron Wahid saat berkunjung ke Makassar, Kamis (13/11) [SuaraSulsel.id/Lorensia Clara]
Baca 10 detik
  • Nusron Wahid menegaskan bahwa hak barat atau Eigendom Verponding tidak lagi diakui. Sebagai dasar kepemilikan tanah di Indonesia.
  • Pemegang hak barat baru bisa mengurus sertifikat resmi jika memenuhi empat syarat
  • Pemprov Sulsel sudah melakukan upaya hukum kasasi dengan membawa novum

SuaraSulsel.id - Menteri Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional (ATR/BPN), Nusron Wahid menegaskan bahwa hak barat atau Eigendom Verponding tidak lagi diakui. Sebagai dasar kepemilikan tanah di Indonesia.

Sistem warisan hukum kolonial itu, kata dia, sudah gugur sejak 1981 dan tidak bisa dijadikan alat bukti sah di pengadilan.

"Eigendom Verponding atau hak barat itu sudah tidak diakui sebagai dokumen resmi sejak tahun 1981," ujar Nusron Wahid dalam kunjungan kerjanya di Makassar, Kamis, 13 November 2025.

Menurut Nusron, Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA) tahun 1960 memberikan masa transisi 20 tahun bagi seluruh pemegang hak barat.

Baca Juga:Maher Zain dan Harris J Siap Guncang Makassar dalam BSI Maher Zain Live in Concert 2025

Untuk mendaftarkan kembali haknya dalam sistem pertanahan nasional. Namun, jika hingga batas waktu tersebut tidak diregister, maka hak tersebut dianggap gugur secara otomatis.

"Kalau tidak diregister, maka dianggap gugur. Haknya turun. Jadi, hak barat itu tidak bisa lagi dijadikan alat bukti kepemilikan, hanya bisa menjadi petunjuk arah kepemilikan," jelasnya.

Menteri ATR menambahkan, pemegang hak barat baru bisa mengurus sertifikat resmi jika memenuhi empat syarat.

Di antaranya tidak ada sertifikat hak tanah lain di atas lokasi tersebut, tidak termasuk dalam lahan milik negara, pemegang Eigendom menguasai fisik tanah secara nyata, dan rutin membayar Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) ke pemerintah.

"Kalau empat syarat itu tidak terpenuhi, maka tidak bisa. Pemerintah harus berjuang memenangkan aset negara di pengadilan," tegas Nusron.

Baca Juga:Anak Korban Penculikan Diberi Pendampingan Pemulihan Traumatik

Pernyataan Nusron menanggapi kasus gugatan lahan seluas 52 hektar di Kelurahan Manggala, Kecamatan Manggala, Kota Makassar, yang dimenangkan penggugat Magdalena De Munnik di pengadilan tingkat banding.

Dalam perkara Nomor 57/PDT/2025/PT.Makassar yang diputus pada 19 Maret 2025, Magdalena selaku penggugat intervensi. Menggugat Pemerintah Kota Makassar, Pemerintah Provinsi Sulawesi Selatan, PDAM Kota Makassar, BPN Kota Makassar, dan BPN Provinsi Sulawesi Selatan.

Awalnya, Magdalena dan Samla kalah di Pengadilan Negeri Makassar (putusan Nomor 15/Pdt.G/2024/PN.Mks), tetapi kemudian menang di Pengadilan Tinggi.

Lahan yang dipersoalkan sebelumnya pernah dikelola seorang warga bernama Fahruddin Romo dengan status Hak Guna Usaha (HGU).

Namun, masa berlaku HGU itu habis dan tidak diperpanjang. Karena tidak lagi dikelola, pemerintah menetapkannya sebagai tanah negara.

Belakangan, muncul klaim dari Magdalena, yang mengaku ahli waris Cornelis de Munnik, berdasarkan Surat Ukur tahun 1930 Nomor 60 dengan Verponding RVO.12 atas nama Cornelis. Ia menyebut tanah itu diwariskan turun-temurun.

Atas putusan banding tersebut, BPN Provinsi Sulsel, BPN Kota Makassar dan Pemprov Sulsel mengajukan kasasi ke Mahkamah Agung pada 8 April 2025.

Dalam memori kasasi, BPN menyatakan keberatan terhadap pertimbangan hakim Pengadilan Tinggi, yang dinilai keliru dan bertentangan dengan hukum acara perdata.

Menurut kuasa hukum BPN, hakim tingkat banding terlalu memaksakan pertimbangan bahwa objek gugatan antara penggugat asal dan intervensi berada di lokasi yang sama, padahal batas-batas tanah tidak jelas.

BPN juga menilai hakim banding keliru mempertimbangkan tanah bekas hak barat yang seharusnya sudah tidak memiliki kekuatan hukum.

Dalam Peraturan Pemerintah Nomor 18 Tahun 2021 ditegaskan bahwa alat bukti tertulis tanah bekas hak barat dinyatakan tidak berlaku, dan statusnya menjadi tanah yang dikuasai langsung oleh negara.

"Pendaftaran tanah bekas hak barat hanya bisa dilakukan dengan surat pernyataan penguasaan fisik yang diketahui dua orang saksi dan bertanggung jawab secara hukum," jelas dokumen keberatan BPN tersebut.

Senada dengan Menteri ATR, Sekretaris Daerah Provinsi Sulawesi Selatan, Jufri Rahman menegaskan bahwa Eigendom Verponding sudah gugur sejak 1981, mengacu pada ketentuan dalam UUPA tahun 1960.

"Kalau Undang-Undang Pokok Agraria terbit tahun 1961, maka 20 tahun setelahnya, yaitu tahun 1981, hak barat itu berakhir dengan sendirinya," ujarnya.

Ia juga menyoroti kejanggalan dalam bukti yang diajukan pihak De Munnik di pengadilan.

"Kemenangan De Munnik ini sudah salah sejak awal. Alas hak yang digunakan itu palsu. Masa surat yang dibuat tahun 2002 menjelaskan keadaan tahun 2005. Kau bukan peramal," ujarnya dengan nada geram.

Sekda menegaskan, Pemprov Sulsel sudah memerintahkan Biro Hukum untuk melanjutkan upaya hukum kasasi dengan membawa novum (alat bukti baru).

"Kalau persidangan berjalan normatif, kita pasti menang. Pemerintah tidak boleh kalah karena tanah itu sudah dikuasai rakyat," tambahnya.

Ia memastikan pemerintah akan berupaya maksimal agar lahan tersebut tidak jatuh ke tangan pihak lain.

"Rakyat sudah menguasai tanah itu. Tidak disuruh pun, mereka akan mempertahankannya," katanya.

Menurutnya, perjuangan mempertahankan tanah adalah bagian dari harga diri rakyat.

"Kenapa tanah disebut tanah tumpah darah? Karena orang rela menumpahkan darah untuk mempertahankan haknya," tegas Jufri.

Kontributor : Lorensia Clara Tambing

BERITA TERKAIT

REKOMENDASI

Terkini