SuaraSulsel.id - Abbas Gauf masih berusia 18 tahun ketika kabar itu datang pagi-pagi sekali. Ia harus berangkat ke Surabaya.
Perintahnya jelas. Bergabung dalam operasi besar pada orde lama, Tri Komando Rakyat (Trikora).
Padahal, baru dua tahun sebelumnya ia resmi mengenakan seragam Angkatan Laut Republik Indonesia (ALRI), bertugas di Pangkalan Utama TNI Angkatan Laut VI.
"Saat itu usia saya 18 tahun. Masih berani-beraninya," ujarnya dengan suara bergetar saat ditemui, Rabu, 13 Agustus 2025.
Baca Juga:Sengketa Lahan 52 Hektare di Makassar, Pelapor dan Terlapor Sudah Tiga Kali Dipanggil Polisi
Tanpa banyak waktu, ia meninggalkan markas dan Makassar, menuju Surabaya, kota yang menjadi titik kumpul pasukan sebelum berlayar ke medan tugas.
"Saya ditugaskan misi Trikora, Dwikora, dan Seroja. Saya di kapal perang," kenangnya.
Abbas bergabung dengan ALRI pada tahun 1959, di tengah memanasnya hubungan Indonesia-Belanda soal Irian Barat.
Ketika Presiden Soekarno mengumumkan Trikora di Alun-alun Utara Yogyakarta pada 19 Desember 1961, Abbas menjadi salah satu saksi hidup dari kerasnya masa-masa perebutan Irian Barat.
Operasi strategis yang dipimpin Mayor Jenderal Soeharto ini melibatkan kekuatan darat, laut, dan udara.
Baca Juga:Korupsi Sistem Penyediaan Air Minum, 2 Kantor Balai di Makassar Digeledah
ALRI mengerahkan puluhan kapal perang, termasuk kapal cepat torpedo dan kapal selam bantuan Uni Soviet.
Abbas ditempatkan bersama Komando Pasukan Katak (Kopaska), pasukan khusus yang baru dibentuk kala itu untuk menyusup ke perairan Irian Barat.
"Dari Surabaya semua kapal perang berangkat. Ada sekitar 20-an kapal yang dikerahkan. Saat penyerangan kita siap, tapi dua kapal perang tenggelam," ujarnya.
Kapal perang yang tenggelam itu merupakan tragedi Laut Aru pada Januari 1962. Kapal RI Macan Tutul yang dipimpin Komodor Yos Soedarso dihantam tembakan Belanda.
Abbas masih ingat betul kisah Yos Sudarso, komandan kapal yang mengorbankan diri agar dua kapal lainnya yaitu KRI Macan Kumbang dan KRI Harimau bisa melarikan diri dari serangan kapal perang Belanda.
Meski dua kapal andalan bangsa hancur, sebagian besar pasukan berhasil berlabuh dengan aman.
Abbas sendiri selamat, tapi kenangan dentuman meriam dan tembakan masih menempel kuat di ingatannya.
"Semua pasukan berani mati waktu itu," jelasnya.
![Abbas Gauf, Veteran RI yang pernah bertugas di operasi Trikora, Dwikora dan Seroja [SuaraSulsel.id/Lorensia Clara]](https://media.suara.com/pictures/653x366/2025/08/13/87969-abbas-gauf-veteran-ri.jpg)
Dari Dwikora ke Seroja
Trikora usai, Abbas belum sempat bernapas lega.
Pada tahun 1964, ia kembali ditugaskan dalam Operasi Dwikora atau Dwi Komando Rakyat.
Kali ini ia berlayar di perbatasan Indonesia-Malaysia, menjaga jalur laut di tengah tegangnya hubungan diplomatik.
"Di Dwikora, saya juga di kapal perang. Kita ditugaskan di perbatasan Malaysia," katanya.
Tugas berikutnya membawanya jauh ke timur lagi. Kali ini dalam Operasi Seroja di Timor Timur pada 1975.
Pria yang kini berusia 84 tahun itu bilang sudah tak lagi di kapal saat itu. Melainkan bertugas di darat mengamankan wilayah yang baru saja dilanda konflik.
"Bunyi tembakan sana-sini kedengaran, tapi kita harus siap. Mau tidak mau harus siap," ujarnya sambil tersenyum tipis.
Meskipun konflik berakhir damai setelah Presiden Soekarno digulingkan pada 1966, kenangan perang tetap melekat dalam ingatannya.
Abbas bersyukur bisa kembali dengan selamat, berbeda dengan banyak rekannya yang gugur.
Ia kemudian pensiun dari TNI AL pada tahun 1989. Abbas sempat bekerja di kapal dagang dan kapal milik Jusuf Kalla di Kolaka selama 17 tahun sebelum akhirnya berhenti karena sakit.
"Sekarang saya sakit jantung dan sudah susah untuk berjalan," katanya pelan.
Bagi Abbas, kemerdekaan bukan sekadar kata. Ia berharap semangat mereka bisa menular ke pemuda di zaman sekarang ini.
"Kemerdekaan itu ya bebas. Bebas dari penjajah. Waktu itu kita perang dengan Belanda untuk melepaskan Irian Barat," katanya.
Ia juga berharap generasi muda tak melupakan pengorbanan masa lalu dan berpesan untuk terus berjuang dan berinovasi dalam menghadapi tantangan zaman.
"Pemuda, janganlah bertindak gegabah, jangan narkoba, tetap cinta tanah air," pesannya.
Kini di usia senjanya, Abbas mengaku bersyukur dengan perhatian pemerintah kepada para veteran. Tiap tahun mereka menerima bantuan dari Pemprov Sulawesi Selatan.
Sementara, Kepala Dinas Sosial Pemprov Sulawesi Selatan Malik Faisal mengatakan setiap tahun, pihaknya menggelar silaturahmi dan memberikan tali asih kepada para veteran dan keluarga pahlawan nasional jelang 17 Agustus 2025.
Untuk keluarga pahlawan nasional mendapat Rp2,5 juta, veteran Rp1 juta dan panti asuhan Rp2,5 juta. Mulai tahun depan nilainya akan dinaikkan.
"Untuk saat ini kita sesuaikan dengan anggaran kemampuan daerah. Tapi mulai tahun depan, pak Gubernur minta agar nilainya lebih besar karena perjuangan mereka juga tidak main-main," kata Malik.
Kontributor : Lorensia Clara Tambing