SuaraSulsel.id - Eksekusi lahan di jalan AP Pettarani, Kota Makassar, Sulawesi Selatan kembali ricuh, Senin, 28 April 2025.
Kericuhan terjadi ketika petugas Pengadilan Negeri (PN) Makassar berupaya melaksanakan putusan berkekuatan hukum tetap di tengah perlawanan dari ratusan massa.
Pelaksanaan eksekusi lahan di kota Makassar diwarnai aksi protes dari tergugat yang menurunkan organisasi masyarakat.
Massa bahkan bertahan sejak malam hari dengan menyewa truk tronton yang dipalang di tengah jalan untuk mencegah proses eksekusi.
Baca Juga:Intip Transformasi Makassar New Port: Pelabuhan Kelas Dunia Siap Dongkrak Ekonomi Indonesia Timur
Mereka sempat melakukan blokade jalan, serta menyalakan petasan untuk menghalangi petugas keamanan.
Ribuan aparat keamanan gabungan dari Polrestabes Makassar, Polda Sulsel, dan TNI akhirnya dikerahkan untuk mengamankan situasi.
Kericuhan sempat tidak terhindarkan saat petugas pengadilan mencoba memasuki area gedung.
Walau mendapat perlawanan, sebuah ekskavator tetap dikerahkan untuk mengeksekusi gedung eks showroom Mazda tersebut.
![Showroom Mazda di Jalan AP Pettarani, Kota Makassar, Sulawesi Selatan [SuaraSulsel.id/Istimewa]](https://media.suara.com/pictures/653x366/2025/04/28/34430-showroom-mazda-makassar.jpg)
Duduk Perkara
Baca Juga:Misteri Angngaru: Mengapa Tarian Adat Makassar Ini Bisa Merenggut Nyawa? Ini Kata Ahli dan MUI
Eksekusi lahan ini menjadi sorotan luas karena melibatkan dua pengusaha besar di Makassar.
Mereka adalah Soedirjo Aliman Alias Jen Tang dan Ricky Tandiawan, pemilik Sinar Galesong.
Sedianya, eksekusi lahan pernah dilakukan pada tahun 2022 lalu. Namun, rencana tersebut batal dilakukan lantaran eksekutor dari Pengadilan Negeri Makassar dihalangi oleh ratusan pengunjuk rasa dengan menggunakan belasan truk tronton.
Sengketa ini berawal dari rencana pembangunan proyek Panakukang plan oleh Pemerintah Kota Madya Ujung Pandang--Pemerintah kota Makassar--melalui Badan Otoritas Panakkukang Plan.
Badan Otoritas Panakukang Plan menunjuk PT. Timurama sebagai pelaksana Panakkukang Plan.
Kemudian, PT. Timurama selanjutnya mengajukan Hak Guna Bangunan (HGB) kepada Menteri Dalam Negeri Cq. Direktorat Jenderal Agraria.
Pada Tanggal 22 Juni 1978 terbitlah sertifikat HGB untuk PT. Timurama kurang lebih luasnya 50 hektare.
Kemudian dipisahkan sebagian menjadi sertifikat HGB nomor 20196 dengan luas 3.825 melalui jual beli kepada Ricky Tandiawan.
Namun, dari luas lahan tersebut, ada 4.250 meter persegi yang jadi sengketa. Lahan tersebut diklaim oleh seorang warga bernama Mansur Dg Limpo.
Pada 4 Desember 1992, Soedirman Aliman Alias Jen Tang, atas nama anaknya, Eddy Aliman membuat pengikatan jual beli dengan Jonny Jaury yang bertindak selaku kuasa dari Mansur Dg Limpo.
Mansur Dg Limpo mengklaim, tanah dengan total luas 4.250 meter persegi itu sesuai surat keterangan IPEDA tanggal 8 Desember 1987.
IPEDA atau Iuran Pembangunan Daerah adalah pungutan yang dikenakan atas manfaat dari penggunaan tanah dan bangunan.
Lalu, pada 30 Desember 2006, Serli Puji selaku kuasa Edy Aiman, dengan pihak Chaidir Amir, selaku kuasa dari enam ahli waris Mansur Dg Limpo, membuat akta jual beli Nomor 293/WN/KTM/XII/2006 sesuai surat IPEDA tersebut .
Surat IPEDA itulah yang menjadi dasar pengalihan hak antara ahli waris Mansur Dg Limpo dengan Eddy Aliman. Namun surat itu diduga palsu.
Dugaan palsu itu diketahui dari keterangan Surat Camat Rappocini nomor 593.2/13/RPC/IV/2022 tertanggal 18 April 2022, yang menerangkan bahwa, Mansur Dg Limpo tidak terdaftar dalam buku tanah yang ada di kantor kecamatan Rappocini.
Pada tahun 2011, Jen Tang beserta anaknya Eddy Aliman kemudian mengajukan gugatan ke Pengadilan Negeri Makassar.
Turut tergugat diantaranya PT. Timurama dan Ricky Tandiawan, dan lain-lain, yang dalam gugatannya meminta agar mereka mengosongkan lahan tersebut.
Dalam SIPP PN Pengadilan Makassar nomor 175/Pdt.G/2012/PN.Mks, Pengadilan Negeri Makassar memutuskan, mengabulkan gugatan Jen Tang atau Eddy Soelaiman.
Pihak PT Timurama dan Ricky Tandiawan kemudian mengajukan banding ke Pengadilan Tinggi Makassar atas putusan tersebut.
Namun, dalam nomor perkara 243/PDT/2012/PT.Mks tanggal 19 September 2012, hakim PT Makassar menolak banding itu.
Ricky Tandiawan juga mengajukan kasasi ke Mahkamah Agung dengan nomor perkara 2278. K/2013, tanggal 21 Februari 2014, tapi ditolak juga.
Tak sampai di situ. Ricky Tandiawan berusaha melakukan upaya Peninjauan Kembali (PK) hingga tiga kali ke PN Makassar, namun tidak dikabulkan.
Hingga akhirnya, Pengadilan Negeri Makassar mengeluarkan surat eksekusi nomor 50 EKS/2014/PN.Mks. Jo No. 175/Pdt.G/2011/PN.Mks. Jo No. 175/Pdt.G.Intv/2011/PN.Mks atas lahan tersebut.
Perseteruan ini mencerminkan kompleksitas persoalan pertanahan yang terjadi di kota-kota besar, yang kerap melibatkan banyak kepentingan.
Meskipun telah ada putusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap, pelaksanaan eksekusi tetap menghadapi tantangan di lapangan.
Hal ini menunjukkan pentingnya transparansi dan kejelasan dalam proses hukum, serta perlunya komunikasi yang baik antara pihak-pihak yang bersengketa untuk mencapai penyelesaian yang adil dan damai.
Kontributor : Lorensia Clara Tambing