SuaraSulsel.id - Mengenang Opu Daeng Risadju, pahlawan nasional Indonesia yang berasal dari Kerajaan Luwu, Sulawesi Selatan.
"Kalau hanya karena adanya darah bangsawan mengalir dalam tubuhku, sehingga saya harus meninggalkan partaiku dan berhenti melakukan gerakanku, irislah dadaku dan keluarkanlah darah bangsawan itu dari dalam tubuhku! Supaya Datu dan Hadat tidak terhina kalau saya diperlakukan tidak sepantasnya," lantang Opu Daeng Risadju.
Opu Daeng Risadju tertangkap oleh tentara NICA di Desa Lantoro tahun 1946. Ia dibawa ke Watampone, kabupaten Bone dengan cara berjalan kaki sejauh 40 km.
Hari-harinya banyak dilalui di penjara. Dari Bone, dipindahkan ke Sengkang, lalu ke Bajo.
Baca Juga:Breaking News: Nama Jalan Cendrawasih Kota Makassar Berubah Jadi Opu Daeng Risadju
Opu Daeng Risadju adalah pahlawan nasional Indonesia yang berasal dari Kerajaan Luwu. Ia lahir di kota Palopo, Sulawesi Selatan pada tahun 1880. Putri dari Opu Daeng Mawellu dengan Muhammad Abdullah to Barengseng.
Semenjak kecil, ia lebih dikenal dengan nama Famajjah. Untuk menunjukkan identitas kebangsawanannya dari Kerajaan Luwu, disematkanlah panggilan Opu Daeng Risadju.
Opu Risadju tidak mengenal huruf latin. Sebab, tidak pernah mendapat pendidikan formal seperti sekolah Belanda. Sebagai keturunan bangsawan, ia lebih banyak belajar ilmu agama dan budaya tentang Al-Qur'an, Fiqh, nahwu, shorof, dan balaghah.
Menginjak remaja, Opu Daeng Risadju aktif di organisasi Partai Syarikat Islam Indonesia (PSII). Ia bergabung dengan partai itu setelah berkenalan dengan pedagang ternama asal Sulawesi Selatan bernama Muhammad Yahya, yang lama tinggal di Jawa.
Opu Daeng Risadju lalu pulang kampung ke Palopo dan mendirikan organisasi PSII. Penyebarannya pun meluas.
Baca Juga:Negara Paling Banyak Dibom, Kenali Fakta Kejadian Laos saat Pengeboman
Risadju mengandalkan kekuatan keluarganya yang kenal dekat dengan masyarakat. Perekrutan anggota PSII dilakukan dengan cara menyebarkan kartu anggota bertuliskan lafadz "Asyhadu Alla Ilaha Illallah".
Perjuangan Opu Daeng Risadju bersama suaminya mendapat dukungan yang sangat besar dari rakyat. Aspek ideologi mulai tertanam dalam diri anggota, karena siapa pun yang memiliki kartu tersebut berarti dia seorang muslim yang ingin merdeka.
Pihak Belanda mulai sadar dengan gerakan tersebut. Opu Daeng Risadju dianggap menghasut rakyat dan melakukan tindakan provokatif agar tidak lagi percaya kepada pemerintah Hindia Belanda.
Penolakan juga datang dari pihak keluarga kerajaan Luwu. Alasannya, tindakan Opu Daeng Risadju bisa merusak gelar bangsawan yang melekat padanya.
Belanda lalu bekerja sama dengan controleur afdeling Masamba untuk menahan dan mengadilinya. Disitulah Opu Daeng Risadju memilih melepas gelar bangsawannya.
Perjuangan Opu Daeng Risadju tak usai. Ia kembali aktif mempertahankan kemerdekaan usai Indonesia menyatakan diri merdeka.
Opu Risadju menggerakkan dan memobilisasi pemuda Sulawesi Selatan untuk berjuang melawan Netherland Indies Civil Administration (NICA) yang kembali ingin menguasai Indonesia.
Karena berani melawan, Opu Daeng Risadju menjadi buronan nomor satu di Sulawesi Selatan. Ia akhirnya ditangkap di Desa Lantoro dan dibawa ke Watampone dengan berjalan kaki 40 Km.
Sebulan di Bone, Opu Risadju dipindahkan ke penjara Sengkang, lalu ke Bajo. Disitulah penyiksaan terjadi.
Suatu hari, ia dibawa oleh Kepala Distrik Bajo bernama Ladu Kalapita ke sebuah lapangan dan diperintah menatap matahari terik.
Kalapita mendekati Opu Daeng Risadju yang kala itu sudah berusia 67 tahun. Laras panjang diletakkan di pundaknya.
Kalapita kemudian meledakkan senapan itu, tepat di samping telinga Opu Risadju. Seketika, ia jatuh tersungkur di antara kedua kaki Kalapita yang menendangnya.
Akibat penyiksaan itu, Opu Risadju tuli seumur hidup. Ia kemudian dimasukkan ke penjara bawah tanah selama 11 bulan tanpa pernah diadili.
Opu Risadju lalu dibebaskan dan kembali ke Luwu. Setelah pengakuan kedaulatan RI tahun 1949, Opu Risadju pindah ke Parepare mengikuti anak dan suaminya.
Opu Risadju meninggal dunia pada tanggal 10 Februari 1964. Ia dimakamkan di pekuburan raja-raja Lokkoe di Palopo, tanpa upacara kehormatan.
Atas jasa-jasanya, Opu Daeng Risadju dianugerahi gelar Pahlawan Nasional pada 3 November 2006 melalui Keppres No. 85/TK/2006.
Pemerintah Kota Makassar juga mengabadikan namanya sebagai nama jalan, pada Selasa, 22 Agustus 2023.
Kontributor : Lorensia Clara Tambing