Sementara bisnis model saat ini yang mengandalkan pageviews, akan berhadapan dengan konten receh, hantu, prank, hoaks.
“Konten receh dengan konten jurnalisme yang pembacanya kecil, secara iklan kalah harganya. Tantangan cukup besar bagi kita untuk beradaptasi, berubah. Poinnya kalau itu diteruskan nasib jurnalisme kita bisa habis kalau model bisnis tetap sama,” ujar dia.
Menurut Suwarjono, isu ini cukup menantang sehingga butuh banyak diskusi mencari pola baru, bisnis model bagi media lokal.
Suwarjono membagi lima model pembiayaan untuk media atau model bisnis media saat ini. Pertama media sebagai konten kreator dimana membuat konten untuk platform global seperti google, facebook, twitter, instagram, dan tiktok.
Baca Juga:Local Media Summit 2022, Strategi Media Lokal Menghadapi Tantangan Masa Depan
Media sebagai konten kreator atau konten provider, ujar Suwarjono, ancamannya adalah media jadi tergantung dengan platform tersebut.
Lalu ada media dengan berbasis berlangganan di mana hal ini menurut Suwarono, cukup berat.
Ada juga bisnis media sebagai display. “Membuat media sebagai tempat display sebagai outlet sementara bisnisnya di tempat lain. Saya kebayang 2024, media sebagai outlet dipakai calon-calon,” ujarnya.
Keempat media dikelola berbasis donor yang memiliki konten niche.
“Kelima adalah menggabungkan banyak model. Dia menggunakan ekosistem digital baik untuk distribusi bagi digital, agensi, PH. Lima model ini mnearik tapi butuh model baru lagi supaya tidak stagnan,” ujar Suwarojono.
Baca Juga:MGID Siap Latih Media Lokal Punya Bisnis yang Sehat dan Berkelanjutan
Bicara soal desentralisasi media menurut Suwarjono, keberlangsungannya yang jadi bahasan penting.