SuaraSulsel.id - Mantan Wakapolri komjen (Purn) Ari Dono Sukmanto dihadirkan sebagai saksi dalam sidang kasus dugaan pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM) berat di Paniai, Papua.
Ari Dono dimintai keterangan karena ditunjuk sebagai ketua tim Investigasi Tahap II setelah kasus Paniai menelan korban jiwa. Tim itu berisi 32 orang.
Ari mengaku ditunjuk sebagai ketua tim Investigasi Tahap II berdasarkan surat Menteri Koordinator Hukum, Politik, dan Keamanan. Tim itu terdiri dari unsur TNI, Penyidik Polri, Puspom, dan Polda Papua.
"Tugasnya untuk membantu mencari dan menghadirkan saksi-saksi. Karena kita terdiri dari beberapa kesatuan, sebelum kita berangkat kita mempelajari di Paniai, baru membagi tugas," ujarnya di Pengadilan Negeri Makassar, Kamis, 13 Oktober 2022.
Baca Juga:Ada Dugaan Pelanggaran HAM dalam Tragedi Kanjuruhan, Mahfud MD: Silakan Lapor Komnas HAM!
Tim Investigasi Tahap II ini kemudian melakukan pemeriksaan ke sejumlah saksi. Mereka memeriksa ada 59 orang.
Kata Ari, sembilan orang diantaranya adalah anggota Polri, 11 dari Koramil, tujuh dari Yonif, dan 14 dari Paskhas.
Mereka juga memeriksa 11 orang saksi berdasarkan rekomendasi dari Komnas HAM. Lalu, ada tujuh orang yang merupakan hasil dari pengembangan pemeriksaan oleh Tim Investigasi I.
Dalam investigasi tersebut, Ari mengaku mendapatkan laporan ada anggota Polri yang menusuk warga pakai sangkur. Ada pula anggota TNI yang menebas warga.
Hanya saja, ia mengaku tim sulit membuktikan hal tersebut. Sebab tidak diketahui siapa yang menjadi korbannya.
Baca Juga:WAGs Timnas Denmark Tak Boleh Nonton Piala Dunia 2022 di Qatar karena di Sana Serba Mahal
"Sulit membuktikan sebab tidak ada yang tahu siapa korbannya," ujarnya
Ari mengatakan dirinya juga sempat memeriksa salah satu pegawai kecamatan. Ia mengaku menjadi korban terkena peluru.
Sehingga tim sempat melakukan pra rekonstruksi. Pegawai itu mengalami luka di bagian tangan.
"Katanya kena peluru. Itu kami pra rekonstruksi. Masuk, pas keluar (korban) masih di pinggir jalan. Itu ada suara letusan, kemudian tangannya kena," ungkapnya.
Dalam investigasi itu, timnya juga menemukan ada dua keterangan yang berbeda. Perbedaan itu terkait kejadian penembakan pada tanggal 8 Desember 2014.
Kata Ari Dono, ada saksi yang menyebut terdakwa Mayor (Purn) Inf Isak Sattu sebagai perwira penghubung Koramil Enarotali meminta kepada anak buahnya untuk tidak menembak.
Ada juga yang mengatakan bahwa Isak Sattu meminta agar anggota melakukan tembakan ke atas atau peringatan.
"Salah satu saksi (yang diperiksa) mendengar dari Pa Bung (Isak Sattu) meminta kepada massa untuk stop melempar dan menanyakan ada apa melempar?, jadi Pa Bung mengatakan jangan ada yang menembak, tunggu dulu," ujar Ari.
"Tapi keterangan lain, ada yang mendengar Pa Bung berikan tembakan ke atas (peringatan)," lanjutnya.
Namun, Ari Dono mengaku kesulitan mengungkap penyebab kematian para korban. Pasalnya, anggota keluarga korban menolak untuk dilakukan autopsi ataupun visum.
Padahal, kata Ari, jika ingin membuktikan bahwa itu kasus pidana, penyebab meninggalnya korban harus jelas. Semisal, terkena peluru.
"Harus jelas pelurunya masuk di mana, itu yang tidak bisa kita dapatkan. Sehingga siapa yang melakukan penembakan kita tidak temukan," katanya.
Ari mengaku sempat meminta keterangan seorang yang juga terkena tembakan. Bahkan, pada lukanya terdapat butiran logam.
Namun lukanya terlalu kecil. Sehingga saat uji balistik, tim tidak bisa menilai alurnya. Karena hanya menemukan bekas luka.
Ari menambahkan kendala lain pada saat investigasi karena masalah waktu. Dalam surat Menko Polhukam, Tim Investigasi II hanya bertugas 26 Mei-13 Juni 2014.
Diketahui, Jaksa Penuntut Umum (JPU) Kejaksaan Agung (Kejagung) menghadirkan enam orang saksi dalam kasus tersebut. Selain Ari Dono, jaksa juga menghadirkan mantan Pangdam Cendrawasih, Mayjen TNI (Purn) Fransen G. Siahaan.
Kontributor : Lorensia Clara Tambing