Hari Anti Oligarki: Pengunjuk Rasa Bawa Replika Gurita Raksasa ke Kantor Gubernur Sulsel

Puluhan perempuan asal pulau Kodingareng menggelar aksi unjuk rasa di depan kantor Gubernur Sulawesi Selatan

Muhammad Yunus
Rabu, 05 Oktober 2022 | 12:15 WIB
Hari Anti Oligarki: Pengunjuk Rasa Bawa Replika Gurita Raksasa ke Kantor Gubernur Sulsel
Pengunjuk rasa membawa replika gurita raksasa yang diletakkan di depan pintu keluar kantor Gubernur Sulsel, Rabu 5 Oktober 2022 [SuaraSulsel.id/Lorensia Clara Tambing]

SuaraSulsel.id - Puluhan perempuan asal pulau Kodingareng menggelar aksi unjuk rasa di depan kantor Gubernur Sulawesi Selatan, Rabu 5 Oktober 2022.

Mereka terlihat membawa replika gurita raksasa yang diletakkan di depan gerbang pintu keluar sebagai bentuk protes ke pemerintah.

Gurita raksasa itu mereka ibaratkan sebagai monster oligarki. Monster itu menunjukkan wajah kekuasaan antara pemerintah dan korporasi yang terus mengeruk pasir laut.

Aksi ini dalam rangka memperingati hari anti oligarki. Aksi tersebut dilakukan sebagai respon keras dari perempuan Pulau Kodingareng yang merasakan dampak langsung dari aktivitas tambang pasir laut di wilayah tangkap nelayan. Untuk keperluan mega proyek Makassar New Port (MNP).

Baca Juga:Mitologi Kraken, Rahasia Bawah Laut Penghancur Kapal

Mereka menuntut agar Presiden Republik Indonesia, Gubernur Sulawesi Selatan, dan Wali Kota Makassar agar menghentikan pembangunan Makassar New Port dan tambang pasir laut yang berada di wilayah tangkap nelayan.

Gubernur Sulawesi Selatan dan DPRD Provinsi Sulawesi Selatan dituntut agar merevisi RTRW Provinsi Sulawesi Selatan Tahun 2022-2041 yang melegalisasi zona tambang pasir laut dan reklamasi di Sulawesi Selatan.

Kemudian, menuntut PT Pelindo IV harus bertanggung jawab atas kemiskinan dan kerusakan yang terjadi di wilayah tangkap nelayan.

Begitu pun untuk PT Boskalis, perusahaan asal Belanda, sebagai mitra PT Pelindo IV harus bertanggung Jawab. Untuk mengembalikan dan memulihkan wilayah tangkap nelayan agar masyarakat dapat bisa melaut seperti sedia kala.

Perempuan pulau membuat gurita raksasa itu dari limbah plastik botol minuman yang dikumpulkan menggunakan jaring nelayan. Sementara, untuk bagian kepalanya dibuat dari bambu yang dilapisi menggunakan koran bekas. Beratnya 10 kilo gram.

Baca Juga:Konon Anti Oligarki dan Politik Dinasti, Partai Ummat kok Justru Pilih Mantu Amien Rais Jadi Ketum?

Salah satu warga pulau Kodingareng, Sita mengatakan salah satu mega proyek pembangunan pelabuhan bertaraf internasional, yakni Makassar New Port (MNP) paling menyengsarakan mereka.

Bagaimana tidak. Wilayah tangkap nelayan ditetapkan dan dilegalisasi sebagai wilayah tambang pasir laut. Berdasarkan peraturan daerah Rencana Zonasi Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil (RZWP3K) tahun 2019.

Kemudian tahun ini telah diintegrasikan ke dalam peraturan daerah Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) Provinsi Sulawesi Selatan tahun 2022-2041.

Proyek reklamasi yang dilaksanakan sejak tahun 2016 itu membutuhkan pasir laut yang sangat besar. Hampir semuanya ditambang dari sekitar pulau Kodingareng.

Namun, selama tambang pasir laut berlangsung, nelayan dan perempuan pulau Kodingareng mengalami penderitaan sosial ekonomi dan wilayah tangkap nelayan rusak parah. Pendapatan nelayan menurun drastis hampir 90 persen.

"Dampak lain karena adanya perubahan arus dan kedalaman laut. Air laut menjadi keruh, terumbu karang rusak dan mengalami keputihan akibat sedimentasi tambang pasir laut," ujar Sita.

Ia mengatakan mereka langsung kehilangan pendapatan. Banyak dari mereka yang terpaksa menggadaikan emas untuk bertahan hidup.

Beberapa nelayan juga memilih untuk meninggalkan pulau untuk mencari penghidupan. Belum lagi soal anak-anak yang terpaksa putus sekolah karena orang tuanya sudah tak punya uang.

"Kami sudah protes sejak tahun 2020. Saat ini banjir rob selalu mengancam masyarakat di sana," keluhnya.

Kata Sita, dua tahun pasca tambang pasir laut, dampak tersebut masih dirasakan oleh nelayan dan perempuan Pulau Kodingareng. Masalah diperparah dengan masih adanya rencana reklamasi MNP dengan luasan total 1.428 Ha.

Artinya, proyek ini kedepannya masih membutuhkan material pasir laut. Sehingga konflik ruang antar nelayan dengan pemerintah dan korporasi akan kembali terjadi.

"Bagaimana mau pulih perekonomian di pulau Kodingareng kalau terumbu karangnya sudah rusak karena tambang pasir laut. Ikan-ikan sudah pindah tempat. Bahkan Copong (terminalnya ikan menurut para nelayan) itu sudah tidak sama seperti dahulu lagi. Ombaknya juga sudah semakin tinggi. Akibatnya, banyak sekarang keluarga nelayan di pulau sudah tinggalkan pulau untuk cari pekerjaan lain," jelasnya.

Monster Oligarki

Menurut pengunjuk rasa, kehadiran monster oligarki di Sulawesi Selatan tidak lepas dari banyaknya kesepakatan politik dan bisnis yang mencengkram serta menggerogoti sumber daya alam, lingkungan hidup, dan penghidupan masyarakat. Salah satunya yakni sumber daya alam pesisir, laut, dan pulau-pulau kecil.

Saat nelayan, perempuan pesisir dan pulau-pulau kecil mengalami dampak sosial-lingkungan akibat aktivitas tambang pasir laut dan reklamasi MNP, di waktu yang bersamaan kelompok oligarki disebut menikmati keuntungan dari proyek tersebut.

Koalisi Selamatkan Laut Indonesia pada bulan September 2022 merilis hasil investigasi kelompok oligarki di balik proyek tambang pasir laut.

Setelah menelusuri sejumlah dokumen dari Ditjen AHU Kemenkumham RI dan akta perusahaan yang tercantum di dokumen AMDAL, ada 12 izin usaha pertambangan yang beroperasi di perairan Takalar. Dua di antaranya adalah PT Banteng laut Indonesia dan PT Nugraha Indonesia Timur.

Dua perusahaan ini tercatat dimiliki oleh orang-orang dekat mantan gubernur Sulsel, Nurdin Abdullah.

Tidak hanya aktivitas tambang pasir laut, Koalisi Save Spermonde juga telah menemukan sejumlah korporasi besar dan nama-nama yang diduga kuat memiliki hubungan dekat dengan para pengambil kebijakan di balik pembangunan reklamasi dan jalan tol MNP.

Kepala Departemen Advokasi dan Kajian WALHI Sulsel Slamet Riadi mengungkapkan bahwa awal mula merosotnya penghidupan nelayan-perempuan pesisir dan pulau-pulau kecil saat adanya aktivitas tambang pasir laut dan reklamasi CPI pada tahun
2017.

"Praktik tambang laut dan reklamasi MNP semakin mengancam penghidupan masyarakat dan ekosistem pesisir pulau-pulau kecil Sulawesi Selatan. Bahkan hal tersebut dilegalisasi melalui produk perundang-undangan yang tentu saja menguntungkan para oligarki," ujar Slamet Riadi.

Kontributor : Lorensia Clara Tambing

BERITA TERKAIT

REKOMENDASI

News

Terkini