Masalah-masalah yang melalui proses Potangara ada ini bermacam-macam, mulai dari persoalan berat. Seperti perambahan hutan, pembunuhan dan asusila, sampai beberapa masalah semacam pencurian hingga konflik anak muda.
Perempuan adalah adat
Begitu pentingnya peran Tina Ngata. Absennya tokoh adat yang satu itu dalam sebuah peradilan adat, akan mengharuskan proses Potangara (Peradilan Adat) itu ditunda.
Dalam tatanan kelembagaan Adat Ngata Toro, terdapat tiga fungsi krusial Tina Ngata. Pertama, sebagai Pangalai Baha (Pengambil Kebijakan) sebelum Nobotuhi (Memutuskan) jenis givu terhadap sebuah pelanggaran dalam proses potangara.
Baca Juga:5 Artis Indonesia Di-notice Seleb Korea, Ayu Ting Ting Nggak Cuma Sekali!
Kedua, figur lainnya Tina Ngata menjadi Pobolia Ada (Penyimpan, Penjaga Adat maupun yang Mengeluarkan Adat). Serta terakhir, Tina Ngata sebagai Potawari Bisa (Pendingin Suasana).
Ketegasan sistem peradilan adat desa Toro pernah dirasakan Balai Taman Nasional Lore Lindu (BTNLL) 2011 silam. Pihak BTNLL berkilah dari perjanjian bersama dewan adat ngata Toro.
Mereka membawa masuk dua orang asing ke dalam kawasan hutan adat tanpa sepengetahuan dewan adat. Dalihnya sebagai rangkaian penelitian.
Hal itu baru diketahui setelah pihak Balai meminta bantuan, untuk mencari dua orang asing itu karena dinyatakan hilang.
Beruntung, setelah dua minggu dilakukan pencarian oleh 12 orang Tondo Ngata (Polisi Adat Desa), warga asing itu bisa ditemukan dalam keadaan hidup.
Baca Juga:Jadwal Liga Malaysia Diubah, Sabah FC Belum Tentu Lepas Saddil Ramdani ke Timnas Indonesia U-23
Pada hari yang sama setelah dua minggu pencarian, para tetuah lembaga adat ngata Toro melangsungkan peradilan di balai sidang. Hasilnya, lagi-lagi Hampole, Hangu, Hangkau.