SuaraSulsel.id - Dewan Pengawas Lokataru Haris Azhar dan Koordinator KontraS Fatiha Maulidiyanti ditetapkan sebagai tersangka atas dugaan tindak pidana pencemaran nama baik terhadap Menteri Kordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi Luhut Binsar Pandjaitan.
Atas penetapan sebagai tersangka kedua aktivis itu, sejumlah praktisi hukum dan komisi hak asasi manusia (Komnas HAM) menyatakan dukungan moral dan meminta keaparat kepolisian untuk membebaskan Azhar dan Fathia.
Tidak terkecuali para praktisi hukum dan pegiat Ham di kota Palu Sulawesi Tengah yakni Serikat Pekerja Hukum Progresif (SPHP) Sulawesi Tengah.
Dalam rilisinya SPHP melalui chat di whatsapp Agussalim Faisal,SH Jumat malam (25/3-2022), memaparkan kronologis awal mula dilaporkannya kedua aktivis kemanusiaan itu.
“Kejadian itu bermula dari video di channel Youtube milik Haris Azhar yang mendiskusikan hasil penelitian yang dilakukan oleh beberapa lembaga organisasi masyarakat yakni YLBHI, JATAM, WALHI, KontraS, Greenpeace, Trend Asia, LBH Papua, Walhi papua, Bersihkan Indonesia dan PUSAKA,” tulis Advokat rakyat itu.
Menurutnya penelitian terkait penempatan militer di Papua tersebut menemukan dugaan adanya relasi pengamanan bisnis tambang milik LBP serta beberapa anggota TNI aktif lainnya di Papua.
“Video yang menampilkan pemaparan hasil penelitian tersebut kemudian berujung pada laporan kepolisian di Polda Metro Jaya,”tutur Agus.
Kata Agus hal ini kemudiaan menuai kritik dari berbagai kalangan masyarakat, khususnya pejuang Hak Asasi Manusia (HAM).
Karena proses hukum yang dilakukan oleh Polda Metro Jaya terhadap Haris dan Fathia dinilai terburu-buru dan dipaksakan.
“Serikat Pekerja Hukum Progresif (SPHP) Sulawesi Tengah Untuk Solidaritas Haris dan Fathia adalah salah satu Front Advokat Rakyat yang berdiri bersama Pekerja Hukum lainnya untuk memberi dukungan terhadap Haris dan Fathia dalam menghadapi proses hukum,”tegas Agus.
Kata Agus, SPHP Sulawesi Tengah Untuk Haris dan Fathia, menyikapi bahwa penetapan tersangka oleh Polda Metro Jaya menjadi bukti Hukum dan Konstitusi Indonesia telah terjadi situasi demokrasi milik Rakyat dirampas Penguasa oleh arogansi pemerintah dan aparat penegak hukum yang melindungi elit Menteri Penguasa dalam merespon kritik dari Rakyat.
“Jaminan perlindungan atas Hak Asasi seseorang menyampaikan pendapat dimuka umum belum sepenuhya dijamin oleh pemangku kekuasaan tertinggi,”tandas Agus.
Agus menuturkan situasi ini menambah kondisi darurat Hukum dalam pelaksanaan HAM dimana Kami Advokat Rakyat di Sulawesi Tengah mencatat berbagai kejadian serupa di Sulawesi Tengah, pada umumnya kejadian kriminalisasi warga penolak Rejim Sindikasi Oligarki sektor tambang di Sulteng.
“Warga korban tewas aksi penolakan IUP Trio Kencana, Tergusurnya Hak Ekonomi Warga Buluri dan Watusampu, serta penyerobotan lahan warga di Bunta Morowali Utara oleh PT GNI serta lahan warga di Morowali oleh keberadaan Tambang Nikel Raksasa IMIP yang memiliki politik bisnis penguasa saat ini dimana bukan rahasia lagi apabila menjadikan kasus-kasus serupa lainnya tidak bermunculan dan dibungkam,”ujar Agus.
Di satu sisi, laporan-laporan warga kaitannya dengan berbagai perampasan hak, korupsi dan perusakan lingkungan tidak digubris oleh penegak hukum.
“Kejadian-kejadian seperti ini memberikan indikasi tentang diskriminasi dalam proses penegakan hukum,”tulis Agus.
Kata Agus, selain menjadi ancaman bagi Pekerja Hukum dan pejuang pembela HAM yang kerap menyuarakan ketidakadilan terhadap kebijakan maupun pelanggaran terhadap hak rakyat.
“Kejadian ini menjadi satu bukti hukum dijadikan alat kekuasaan dan mudahnya terjadi kriminalisasi bagi kelompok akademisi jika publikasi hasil penelitian memiliki korelasi dengan pemerintah maupun pebisnis di negara ini,”ucap Agus.
Agus menambahkan hal ini tentu akan menjadi ancaman terhadap kebebasan akademik.
Berdasarkan uraian tersebut di atas, kata Agus, SPHP menuntut dan menyatakan sikap:
Hentikan kriminalisasi terhadap Haris dan Fathia dan semua pembela HAM yang berjuang membela Haknya maupun pembela HAM yang berjuang dalam membangun Demokrasi Nasional untuk berdaulatnya rakyat atas nama Konstitusi.
Kepada Penegak Hukum, Kepolisian dan/atau KPK untuk mengusut dugaan kejahatan ekonomi dan/atau dugaan gratifikasi yang diduga memiliki keterkaitan dengan Perusahaan milik Luhut Binsar Pandjaitan, sebagaimana diungkap dalam hasil penelitian 9 lembaga yang tebit pada Agustus 2021.