Koalisi Kecam Cara Polres Luwu Timur yang Kembali Datangi Anak Korban Dugaan Pemerkosaan

Tidak melakukan koordinasi dengan kuasa hukum

Muhammad Yunus
Selasa, 12 Oktober 2021 | 19:08 WIB
Koalisi Kecam Cara Polres Luwu Timur yang Kembali Datangi Anak Korban Dugaan Pemerkosaan
Ilustrasi Pemerkosaan. (Project M)

Kedua, Koalisi juga membantah keterangan P2TP2A Luwu Timur di sejumlah media yang lagi-lagi menyimpulkan secara serampangan berdasarkan interaksi antara para
anak korban dengan Terlapor selaku ayah kandung pada saat dipertemukan di P2TP2A Luwu Timur Oktober 2019 silam.

Ketiganya disebut dapat berinteraksi dengan baik dan harmonis dengan terlapor dan disebut: “seakan-akan tidak pernah ada yang terjadi dan tidak ada tanda-tanda trauma pada ketiga anak tersebut kepada ayahnya”.

Selain kedua dokumen ini berasal dari proses yang berpihak pada terlapor. Kesimpulan di dalamnya juga berbahaya dan justru dapat menyesatkan publik.

Dimana menurut Psikolog di Makassar yang memeriksa para anak setelah kasus ini dihentikan, tidak ditunjukkannya trauma oleh anak bukan berarti kekerasan seksual terhadap anak tidak terjadi.

Baca Juga:Parah! Usai Perkosa Putrinya, Ayah Ini Paksa Putranya Setubuhi Sang Ibu

Terlebih pada kasus kekerasan seksual yang dilakukan orang terdekat korban, yang umumnya tidak melakukan perbuatannya dengan cara-cara kekerasan, melainkan bujuk rayu, tipu muslihat, atau manipulasi.

Pendapat keliru petugas P2TP2A Luwu Timur ini juga menunjukkan lemahnya kapasitas petugas sehingga asesmen tersebut harus dikoreksi. Di sisi lain dalam dokumen hasil asesmen P2TP2A Luwu Timur sendiri justru terdapat keterangan para anak korban yang menceritakan peristiwa kekerasan seksual yang dialami.

Sama halnya dalam Visum et Psychiatricum (VeP) terhadap para anak korban, masing-masing menceritakan peristiwa kekerasan seksual yang dilakukan oleh terlapor.

Keterangan para anak korban dalam dua dokumen tersebut justru diabaikan oleh penyidik Polres Luwu Timur dan prosesnya selanjutnya resmi dihentikan pada 19 Desember 2019.

Ketiga, Koalisi menyayangkan respons POLRI yang menunggu bukti baru dari pihak pelapor untuk dapat membuka kembali penyelidikan. Pernyataan itu dapat menyesatkan publik karena, seolah membebankan pembuktian pada pelapor.

Baca Juga:Tagar Percuma Lapor Polisi di Twitter, KontraS Ungkap Kasus-kasus yang Diabaikan Polisi

Dalam perkara pidana polisi yang punya kewenangan untuk mencari bukti bukan korban maupun masyarakat yang mencari keadilan. Seluruh bukti-bukti hanya dapat ditemukan, diambil melalui sebuah proses hukum.

Dengan ditutupnya proses penyelidikan melalui surat penetapan penghentian penyelidikan, maka peluang untuk mendapatkan bukti-pun akan tertutup. Sebaliknya, dibuka kembalinya proses penyelidikan akan membuka peluang terhadap munculnya bukti-bukti yang mendukung proses penegakan hukumnya.

Bukti-bukti yang menguatkan dan alasan mengapa penyelidikan harus dibuka kembali telah disampaikan Pihak korban/kuasa hukum korban dalam gelar perkara di Polda Sulsel
sebelumnya pada 6 Maret 2020. Seluruh dokumen tersebut hanya akan diserahkan dalam proses penyelidikan/penyidikan ataupun dalam rangka membuka kembali proses tersebut sebagaimana ketentuan yang berlaku.

Keempat, Koalisi mempertanyakan komitmen Polda Sulsel untuk melakukan kembali penyelidikan. Sebab dalam Gelar Perkara Khusus Tanggal 6 Maret 2020 yang dilakukan atas permintaan Koalisi di Polda Sulsel, tidak ditunjukkan keseriusan untuk membuka kasus ini.

Tim kuasa hukum telah mengajukan permintaan sejak 26 Desember 2019, yang selanjutnya baru diminta hadir 6 Maret 2020, dengan undangan yang disampaikan pada 5 Maret 2020.

Dalam gelar perkara kuasa hukum terduga korban telah menyampaikan argumentasi hukum atas adanya sejumlah pelanggaran prosedur dalam proses penyelidikan yang tidak sesuai dengan UU Perlindungan Anak dan UU Nomor 11 Tahun 2012 Tentang Sistem Peradilan Pidana Anak.

BERITA TERKAIT

REKOMENDASI

News

Terkini