Namun, secara filosofi, alas kaki punya makna tersendiri bagi masyarakat Ammatoa. Warna hitam dipercaya memiliki arti kekuatan dan kesamaan derajat di hadapan sang pencipta. Menurut mereka, bersentuhan langsung dengan tanah menjadi pengingat bahwa kita berasal dari tanah dan akan kembali ke tanah.
4. Uji Kejujuran Dengan Bakar Linggis
Atunnu Panrolli atau bakar linggis adalah salah satu tradisi suku ini. Masyarakat suku Ammatoa melakukan Atunnu Panrolli untuk menguji kejujuran.
Biasanya dilakukan bagi masyarakat yang sedang berselisih dan tidak menemui titik temu. Linggis kemudian dibakar dalam api sampai memerah, lalu dibacai mantra.
Baca Juga:Akhirnya Warga Desa Adat Amma Toa Kajang Bulukumba Mau Membuat KTP
Para tetua adat kemudian berkumpul dan memanggil pihak yang berselisih tadi. Mereka akan disuruh memegang linggis tersebut.
Yang berbohong tentu akan ketahuan karena tangannya akan melepuh. Begitupun sebaliknya, jika jujur maka tidak akan kesakitan sama sekali.
![Kain tenun Suku Ammatoa di kawasan adat Ammatoa, Kabupaten Bulukumba, Sulawesi Selatan [SuaraSulsel.id / Lorensia Clara Tambing]](https://media.suara.com/pictures/653x366/2021/09/26/50357-suku-ammatoa.jpg)
5. Harga Pakaiannya Mahal
Kendati tampil sederhana, fesyen masyarakat di suku Ammatoa ternyata harganya sangat mahal. Sarung tenun yang digunakan masyarakat sehari-hari disana dijual dengan harga fantastis. Harganya bisa sampai Rp1,2 juta setiap lembarnya.
Kami sempat menemui salah satu masyarakat yang sedang menenun, Juma. Alasan harganya mahal ternyata karena proses produksinya masih dilakukan secara tradisional.
Baca Juga:Soeharto Pesan 22 Kapal di Bulukumba Untuk Operasi Militer Papua
Satu sarung tenun saja, proses pengerjaannya, kata Juma, bisa sampai satu bulan. Pewarnanya juga tidak menggunakan bahan kimia, tapi pewarna alami dari pohon bernama Taru yang ditanam masyarakat sekitar.
Tenun jadi sumber pendapatan masyarakat Ammatoa. Semua perempuan juga diwajibkan pintar menenun. Selain lihai memasak, mereka harus bisa menenun terlebih dahulu sebelum menikah.
Hasil produksi itu kemudian akan dibawa ke kota untuk dijual. Tak hanya sarung tenun, masyarakat sekitar juga bertani dan berkebun. Saat panen, mereka akan berjalan kaki ke luar kawasan untuk menjual hasil buminya. Berjalan kaki tanpa menggunakan sendal atau sepatu.
6. Seluruh Rumah Menghadap ke Barat
Semua rumah di suku ini menghadap ke arah Barat. Secara simbolis, barat dipercaya sebagai tempat nenek moyang mereka berada. Konsep rumahnya juga seragam, rumah panggung dengan topangan tiang berjumlah 16 buah.
Material yang digunakan juga tidak boleh terbuat dari batu bata atau tanah. Membangun rumah dengan material tersebut adalah pantangan bagi mereka.