Dukungan bukan hanya dari keluarga, melainkan juga dari masyarakat setempat. Maklum, waktu itu barulah ia sendiri yang
merintis jalan menuntut ilmu agama di daerah lain.
Demi cita-citanya, Sanusi harus berusaha memenuhi sebagai kebutuhan sekolahnya. Pada waktu libur ia biasa berjualan mangga muda yang dijajakannya keliling kampung.
Selain itu, Sanusi kecil juga memelihara kuda milik seorang Jepang yang kebetulan tinggal di rumah keluarganya di Panjallingan. Untuk pemiliharaan kuda tersebut ia memperoleh upah harian.
Ketika pindah ke Makassar untuk belajar di Darud Dakwah Wal-Irsyad (DDI) Galesong Baru Sanusi lagi-lagi tidak tinggal diam. Ia membantu neneknya menjualkan bambu yang di-bawanya dengan gerobak dari Gusung ke Pasar Kalimbu.
Baca Juga:Sebelum Meninggal Dunia, KH Sanusi Baco Mengalami Sakit Ini
Ia juga sempat berjualan nenas irisan dan membantu pamannya berusaha penyeterikaan pakaian. Semua itu dilakukannya dengan penuh kesungguhan. Dalam suasana ekonomi yang secara umum amat sulit pada zaman pemerintahan Jepang.
"Pola hidup prihatin dan kerja keras semacam itu bagi kebanyakan orang adalah sebuah penderitaan," tulis Abdul Kadir Ahmad dalam peneltiannya.
Di Pesantren Darud Dakwah Wal-Irsyad (DDI) Mangkoso Kabupaten Barru ia belajar selama delapan tahun (1950 -1958), menyelesaikan I'dadiyah 1 tahun, Tahdliriyah 3 tahun, dan Tsanawiyah 4 tahun.
Bagi Sanusi, di pesantren itu banyak panutan. Akan tetapi ia mengaku guru yang paling banyak memberi warna pada dirinya adalah K.H. Syuaib Magga, K.H. Hamzah dan K.H. Amberi Said, pimpinan pondok, sendiri.
Seingatnya, selama 8 tahun ia di sana K.H.Syuaib Magga tidak pernah absen memberi pengajian meski yang hadir hanya tiga orang.
Baca Juga:Innalillah, Ketua MUI Sulsel Sanusi Baco Meninggal Dunia
Kedisiplinan pimpinan pondok sendiri, K.H. Amberi Said, sangat berpengaruh bagi santri. Tokoh inilah yang paling diidolakannya.