Ditahan 150 Hari, Petani Soppeng Tuntut Ganti Rugi Menteri Lingkungan Hidup

Tiga petani di Kabupaten Soppeng mengajukan permohonan pra peradilan di Pengadilan Negeri Watansoppeng

Muhammad Yunus
Jum'at, 19 Februari 2021 | 17:18 WIB
Ditahan 150 Hari, Petani Soppeng Tuntut Ganti Rugi Menteri Lingkungan Hidup
Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Siti Nurbaya Bakar sesuai menghadap Menkopolhukam Mahfud MD. (Suara.com/Stephanus Aranditio).

SuaraSulsel.id - Tiga petani di Kabupaten Soppeng, Sulawesi Selatan (Sulsel) mengajukan permohonan pra peradilan di Pengadilan Negeri Watansoppeng. Setelah divonis bebas oleh PN Watansoppeng dari tuduhan kasus merambah kehutanan.

Ketiga petani tersebut masing-masing diketahui bernama Sahidin, Jamadi dan Sukardi.
Ketiganya mengajukan permohonan pra peradilan di Pengadilan Negeri Watansoppeng untuk meminta ganti rugi dari Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan, Kepala Kejaksaan Negeri Soppeng dan Menteri Keuangan RI pada Jumat (29/1/2021).

Wakil Direktur Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Kota Makassar Edy Kurniawan selaku penasehat hukum ketiga petani Soppeng yang divonis bebas tersebut mengatakan tujuan pengajuan permohonan pra peradilan tersebut adalah untuk meminta ganti rugi atau kompensasi dari negara.

Sebab, selama ditahan di Rutan Makassar hingga dipindahkan ke Rutan Soppeng selama 150 hari lamanya. Ketiga petani tersebut mengalami kerugian materil maupun non materil.

Baca Juga:Didakwa Menyebarkan Dokumen Provokasi, Aktivis Iklim India Ini Ditahan

"Mereka ajukan ini semacam kompensasi atau ganti rugi dari negara. Karena mereka waktu mengalami kasus ini ditahan selama 150 hari ini mereka (petani) banyak mengalami kerugian," kata Edy kepada SuaraSulsel.Id, Jumat (19/2/2021).

Proses pidana 150 hari yang telah dijalani ketiga petani Kabupaten Soppeng tersebut tidak hanya semata persoalan hukum. Tetapi, juga telah berdampak pada masalah ekonomi, pendidikan dan tekanan psikis hingga kerugian materil.

Belum lagi, anak-anak dari ketiga petani itu juga ikut merasakan dampaknya. Karena ketiga petani yang ditahan merupakan tulang punggung keluarga, sehingga biaya pendidikan dan kebutuhan nafkah hidup untuk keluarga terkendala.

Bahkan, para keluarga juga membutuhkan biaya tambahan ketika ingin membesuk ketiga petani selama menjalani masa penahanan.

Untuk total akumulasi kerugian yang dialami dari masing-masing petani yang ditahan selama 150 hari itu, kata Edy, sebanyak Rp74.000.300 Juta. Hal inilah yang dituntut oleh ketiga petani Soppeng tersebut di Pengadilan Negeri Watangsoppeng.

Baca Juga:Tanam Komoditas Ini, Petani Raup Berkah di Tengah Pandemi

"Selama ditahan itu mereka banyak mengalami kerugian terutama kerugian ekonomi. Kan kalau mereka ditahan selama 150 hari itu, dia (petani) ini tidak bisa menafkahi keluarganya. Istrinya tidak memperoleh nafkah termasuk anaknya yang terhambat biaya pendidikannya," kata dia.

"Jadi kerugian 150 hari itu yang kita akumulasi untuk kita tuntut ke pemerintah. Dengan jumlah Rp74.000.300 Juta dari akumulasi kerugian. Rp74.000.300 juta ini perorang dari tiga petani," tambah Edy.

Edy menjelaskan dalam pengajuan pra peradilan ganti rugi tersebut yang digugat adalah penegak hukum yang terlibat melakukan penahanan selama 150 hari kepada ketiga petani di Kabupaten Soppeng.

Mereka adalah Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan yang menahan, Kepala Kejaksaan Negeri Soppeng yang memperpanjang masa penahanan. Dan Menteri Keuangan RI.

"Menteri Keuangan kita gugat juga karena berdasarkan peraturan Menteri Keuangan, yang bisa menyalurkan kompensi atau ganti rugi kalau negara digugat itu adalah Menteri Keuangan selaku bendahara negara," jelas Edy.

Edy mengungkapkan kasus ini bermula saat ketiga petani tersebut ditangkap oleh polisi kehutanan pada 22 Oktober 2017. Dimana, ketiga petani itu diduga telah merambah kehutanan dan melanggar Undang-Undang Nomor 18 tahun 2013 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Perusakan Hutan (UU P3H) saat tinggal di kawasan hutan Laposo Niniconang, Kabupaten Soppeng, Sulawesi Selatan.

"Mereka ditahan dengan tuduhan merambah hutan. Dengan berkebun dan menebang pohon yang melanggar Undang-Undang 18 tahun 2019 tentang pencegahan pemberantasan kerusakan hutan," ungkap Edy.

Hingga akhirnya Pengadilan Negeri Watansoppeng menjatuhkan putusan bebas dari segala tuntutan penuntut umum pada Rabu (21/3/2018). Majelis Hakim berpendapat bahwa dakwaan jaksa penuntut umum keliru menerapkan UU P3H.

Sebab, subjek hukum yang ditujukan dalam UU P3H adalah setiap orang yang menebang pohon dan berkebun secara terorganisasi untuk kepentingan komersil. Bukan untuk petani yang tinggal dalam klaim kawasan secara turun-temurun dan berkebun hanya semata-mata untuk memenuhi kebutuhan hidup dasar.

Selain itu, putusan bebas ini pun telah diperkuat oleh Mahkamah Agung pada tingkat kasasi dan telah berkekuatan hukum tetap (inkracht) pada Desember 2020.

"Pengadilan Negeri Watansoppeng mengatakan mereka ini tidak boleh dihukum dengan undang-undang itu karena undang-undang tersebut diperuntukkan bagi korporasi atau orang perorang yang perbuatannya teroragnisasi atau ada kerjasama. Dan itu kayunya untuk dijual illegal loging. Sementara tiga petani ini, mereka berkebun untuk semata-mata memenuhi kebutuhan dasar tidak komersil. Sehingga dinyatakan bebas dan tidak boleh dihukum," urai Edy.

Setelah dinyatakan bebas, ketiga petani tersebut mengajukan permohonan pra peradilan. Untuk mendapatkan ganti rugi atas masa tahanan yang telah dijalaninya selama 150 hari.

Sidang perdana pra peradilan ganti rugi yang diajukan ke Pengadilan Negeri Watansoppeng itu mulanya dijadwalkan pada Jumat (5/2/2021). Hanya saja, pada waktu itu pihak Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan dan Menteri Keuangan tidak hadir dalam sidang.

Sehingga, sidang baru dapat dilaksanakan di Pengadilan Negeri Watansoppeng, Jumat (19/2/2021) tadi, yang dihadiri oleh semua pihak. Baik dari pihak pemohon maupun termohon.

Upaya pra peradilan ganti rugi ini diajukan berdasarkan ketentuan Pasal 95 Ayat (1) KUHP Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana yang menyatakan bahwa tersangka, terdakwa atau terpidana berhak untuk menuntut ganti kerugian karena ditangkap, ditahan, dituntut, diadili atau dikenakan tindakan lain, tanpa alasan yang berdasarkan undang-undang atau karena kekeliruan mengenai orangnya atau hukum yang diterapkan.

"Dasarnya itu di pasal 95 ayat 1 KUHP yang mengatakan kalau terpidana atau terdakwa bebas, artinya jaksa salah hukum atau salah orang. Maka dia berhak untuk mendapatkan ganti rugi. Apalagi sudah ada putusan Mahkamah Agung menyatakan bebas, maka sudah inkracht. Sudah berkekuatan tetap artinya mereka tidak bersalah dalam perbuatan penangkapan dan penahanan itu. Sehingga itu yang kita tuntut," katanya.

"Hasil sidang tadi, karena ini kan pra peradilan. Jadi hari Senin nanti akan agenda sidang lagi. Jangka waktunya itu tujuh hari sudah harus putus. Senin sidang lagi. Agendanya adalah jawaban dari Menteri Lingkungan Hidup, Jaksa dan Menteri Keuangan," katanya.

Kontributor : Muhammad Aidil

BERITA TERKAIT

REKOMENDASI

News

Terkini