SuaraSulsel.id - Pemerintah Provinsi Sulawesi Selatan memperingati hari korban 40.000 jiwa setiap tanggal 11 Desember setiap tahunnya.
Momentum ini menjadi masa kelam bagi warga Sulsel di zaman pemerintahan Westerling.
Raymond Pierre Paul Westerling, pasukan Belanda pada Perang Dunia II. Karier militernya dimulai saat Koninklijk Nederlands Indische Leger (KNIL). Kedatangannya ke Indonesia untuk misi agresi Belanda.
Westerling datang ke Makassar tujuannya untuk melawan gerilyawan, siapapun yang memberontak dengan Belanda pada 5 Desember 1946. Indonesia sudah menyatakan diri merdeka kala itu. Namun, perang melawan Belanda masih terjadi.
Baca Juga:Kasus Dugaan Pencemaran Nama Baik JK Ditangani Setelah Pilkada
Gempuran agresif dilakukan Westerling bersama 123 orang koloninya pada tanggal 10 Desember di Makassar. Manuvernya meluas pada 17-31 Desember 1946, dan menyasar Gowa, Takalar, Jeneponto, Polombangkeng, Binamu.
Lalu, pada 2-16 Januari 1947 wilayah pembantaian Westerling dilakukan di Bantaeng, Gantarang, Bulukumba, Sinjai.
Selanjutnya, 17 Januari-5 Maret 1947 Pangkajene, Segeri, Tanete, Barru, Parepare, Polewali Mandar, Sidenreng, Rappang, dan Suppa.
Hal tersebut dicantumkan Sejarahwan Belanda, Marteen Hidskes dalam bukunya yang berjudul 'Di Belanda Tak Seorang Pun Mempercayai Saya'.
Marteen Hidskes adalah putra salah satu aktor dari peristiwa kelam Korban 40.000 Jiwa, Piet Hidskes.
Baca Juga:Polisi Tunda Penyelidikan Kasus Dugaan Pencemaran Nama Baik Jusuf Kalla
Ayah Marteen adalah korps elite dari Koninklijke Nederlansch-Indisch Leger (Pasukan Hindia-Belanda). Anggota dari Westerling. Peristiwa yang dilakoni Westerling ini menjadi luka bagi masyarakat Sulsel.