Selain itu, jika tidak didukung dengan good governance, kewenangan yang sangat besar di Pemerintah Pusat berpotensi menyebabkan penyalahgunaan wewenang (abuse of power).
Kedua, Perizinan disederhanakan untuk kepentingan investor dan pelaku usaha besar.
Simplifikasi perizinan yang diatur oleh RUU Cipta Kerja dapat mendorong ekspansi usaha besar-besaran di daerah pesisir dan ruang laut tanpa mempertimbangkan daya dukung ekosistem.
Hingga saat ini, pemerintah telah menetapkan 15 Kawasan Ekonomi Khusus (KEK) demi mendukung investasi, dan bila dipadukan dengan RUU Cipta Kerja, kerusakan ekosistem pesisir (mangrove, padang lamun, dan terumbu karang) dimana jutaan nelayan menggantungkan hidupnya menjadi ancaman nyata.
Perubahan membuat perizinan berusaha hanya diwajibkan untuk usaha tertentu, yakni yang dianggap berdampak tinggi.
Baca Juga:Uang Pesangon hingga UMP Dihapus di UU Ciptaker, Azis Syamsuddin: Hoaks!
Padahal, penentuan usaha apa saja yang dinilai berdampak tinggi tersebut itu sendiri masih dipertanyakan keakuratannya.
Selanjutnya, perubahan yang tidak kalah merugikan adalah beralihnya izin lingkungan menjadi persetujuan lingkungan. Berpotensi mengurangi esensi pengawasan, pengendalian, dan pencegahan.
Perubahan lainnya adalah izin lingkungan yang diubah menjadi persetujuan lingkungan.
Diubahnya izin menjadi persetujuan tentunya akan mengurangi esensi pengawasan, pengendalian, dan pencegahan.
Ketiga, terdapat indikasi bahwa operasi kapal asing untuk menangkap ikan di ZEE Indonesia akan dibuka pasca-RUU Cipta Kerja.
RUU Cipta Kerja mempertahankan ketentuan mengenai kapal asing yang ada pada UU Perikanan, tetapi menghapuskan kewajiban penggunaan ABK Indonesia sebanyak 70% per kapal.
Baca Juga:Mengkapitalisasi Pendidikan, Serikat Guru Tolak UU Cipta Kerja
Padahal, sumber daya perikanan di Indonesia seharusnya diperuntukkan bagi kesejahteraan masyarakat Indonesia sebagai amanat dari Pasal 33 (3) UUD 1945.
Keempat, Perubahan sistem perizinan menjadi risk-based approach (pendekatan berbasis risiko) tidak didukung dengan penentuan kelembagaan dan metodologi yang jelas dan kredibel.
Saat ini, di Indonesia belum ada lembaga yang dapat dianggap siap dan berpengalaman untuk melakukan penentuan risiko secara holistik.
Terlebih lagi, database di Indonesia belum dapat mendukung efektivitas risk-based approach.
Sehingga, penentuan risiko dikhawatirkan dapat bersifat subjektif. Dampaknya, kegiatan usaha yang tidak dianggap berisiko tinggi tidak diwajibkan untuk memiliki izin.
Jika penentuan risiko tidak akurat, tentunya dapat berbahaya bagi keberlanjutan sumber daya kelautan dan perikanan di Indonesia.