- Kapten Westerling memimpin operasi brutal di Sulawesi Selatan mulai Desember 1946 untuk mengakhiri perlawanan Republik.
- Operasi ini mengakibatkan tragedi besar yang diperkirakan menewaskan sekitar 40.000 jiwa rakyat Sulawesi Selatan.
- Westerling kemudian gagal dalam upaya kudeta di Jawa Barat dan akhirnya pensiun menjadi penyanyi opera di Belanda.
SuaraSulsel.id - Desember 1946. Di kampung-kampung di sekitar Makassar, desas-desus ketakutan mulai menyebar.
Nama seorang perwira pasukan khusus Belanda beredar dari mulut ke mulut akan datang. Namanya Kapten Raymond Paul Pierre Westerling.
Sosok muda berusia 27 tahun, berdarah Turki itu datang membawa sebuah misi untuk mengakhiri perlawanan Republik di Sulawesi Selatan dengan cara yang paling brutal.
Operasi dimulai dari Batua, Tanjung Bunga, hingga desa-desa di timur Makassar.
Malam hari menjadi waktu yang paling mematikan. Desa dikepung diam-diam, rumah-rumah digedor, dan penduduk digiring ke lapangan terbuka.
Pria dipisahkan dari perempuan dan anak-anak. Di tengah lingkaran bayonet, berdirilah Westerling.
"Tunjuk! Siapa di antara kalian yang pemberontak? Siapa yang membela Republik?" bentak serdadu Depot Speciale Troepen (DST).
Pilihan penduduk adalah jebakan maut. Jika mereka menunjuk seseorang, orang itu akan ditembak mati di tempat.
Jika mereka bungkam, Westerling akan memilih tiga sampai lima orang secara acak dan menembak mereka sebagai "contoh".
Baca Juga: Pemprov Sulsel Kerahkan Tim Kesehatan ke Sumatera, Ratusan Korban Bencana Terlayani
Kekejaman ini menjalar seperti wabah ke daerah Polobangkeng, Galung Lombok, hingga Malino.
Tragedi 40.000 Jiwa
Setiap 11 Desember, warga Sulawesi Selatan memperingati peristiwa kelam yang takkan terlupakan itu. Peristiwa pembantaian yang telah merenggut sekitar 40.000 jiwa rakyat.
Sebagai bentuk penghormatan dan pengakuan atas korban yang jatuh, dibangunlah Monumen Korban 40.000 Jiwa di Pongtiku, Makassar yang kini menjadi saksi bisu tragedi tersebut.
Jalan di sekitar kawasan tersebut pun dinamakan Jalan Korban 40.000 Jiwa.
Selain di Makassar, monumen yang serupa juga didirikan di Parepare, di dekat Masjid Raya dan di Kecamatan Bacukiki, serta di Bulukumba dan Polewali Mandar.
Berita Terkait
Terpopuler
- 4 Model Honda Jazz Bekas Paling Murah untuk Anak Kuliah, Performa Juara
- 7 Rekomendasi HP RAM 12GB Rp2 Jutaan untuk Multitasking dan Streaming
- 4 Motor Matic Terbaik 2025 Kategori Rp 20-30 Jutaan: Irit BBM dan Nyaman Dipakai Harian
- BRI Market Outlook 2026: Disiplin Valuasi dan Rotasi Sektor Menjadi Kunci
- Pilihan Sunscreen Wardah yang Tepat untuk Umur 40 Tahun ke Atas
Pilihan
-
Timnas Indonesia U-22 Gagal di SEA Games 2025, Zainudin Amali Diminta Tanggung Jawab
-
BBYB vs SUPA: Adu Prospek Saham, Valuasi, Kinerja, dan Dividen
-
6 HP Memori 512 GB Paling Murah untuk Simpan Foto dan Video Tanpa Khawatir
-
Pemerintah Bakal Hapus Utang KUR Debitur Terdampak Banjir Sumatera, Total Bakinya Rp7,8 T
-
50 Harta Taipan RI Tembus Rp 4.980 Triliun, APBN Menkeu Purbaya Kalah Telak!
Terkini
-
Ditolak Banyak RS, Muh Ikram Langsung Ditangani RSUD Daya: Kisah Anak Yatim Viral di Makassar
-
Begini Cara FEB Unhas Dorong Pelaku UMKM Maros Lebih Adaptif dan Tahan Banting
-
5 Ide Liburan Keluarga Anti Bosan Dekat Makassar Sambut Akhir Tahun
-
WNA Asal Filipina Menyamar Sebagai Warga Negara Indonesia di Palu
-
Pelindo Regional 4 Siap Hadapi Lonjakan Arus Penumpang, Kapal, dan Barang