Muhammad Yunus
Rabu, 26 November 2025 | 20:57 WIB
Dokumentasi: Jalan Metro Tanjung Bunga Makassar saat dikerjakan PT Nindya Karya (Persero) [Suara.com/Humas Pemprov Sulsel]
Baca 10 detik
  • DPRD Sulsel mengevaluasi ulang izin PT GMTD sejak 1991 karena kontribusi dividen yang diterima Pemprov hanya Rp6 miliar, dianggap sangat kecil.
  • Terdapat dugaan manipulasi dividen dan pengalihan fokus bisnis GMTD dari pariwisata menjadi properti penjualan lahan.
  • DPRD akan memanggil GMTD untuk klarifikasi dan mempertimbangkan opsi hak angket terkait minimnya kontribusi perusahaan tersebut.

SuaraSulsel.id - DPRD Sulawesi Selatan menyoroti kontribusi PT Gowa Makassar Tourism Development (GMTD) Tbk yang dinilai tidak sebanding dengan luas izin pengembangan dan nilai ekonomi kawasan yang dikelola perusahaan tersebut selama lebih dari tiga dekade.

Ketua Komisi D DPRD Sulsel, Kadir Halid menyatakan pihaknya akan mengevaluasi ulang izin prinsip perusahaan itu, termasuk menelusuri kemungkinan adanya praktik manipulasi dalam pembagian dividen.

GMTD mulai beroperasi sejak memperoleh izin dari Pemerintah Provinsi Sulsel pada tahun 1991. Sejak saat itu hingga kini, atau sekitar 34 tahun, dividen yang diterima Pemprov Sulsel disebut hanya mencapai Rp6 miliar.

Angka itu dinilai terlalu kecil jika dibandingkan dengan geliat bisnis GMTD dan perkembangan kawasan Tanjung Bunga yang kini menjadi salah satu area properti premium di Makassar.

"Dividen ke Pemprov Sulsel selama ini sangat kecil. Padahal laporan keuangan yang kami terima informasinya besar sekali keuntungannya. Sudah triliunan," kata Kadir Halid, Rabu, 26 November 2025.

Kadir menjelaskan, pada awal berdirinya, saham GMTD sebagian dimiliki pemerintah daerah.

Pemprov Sulsel memegang 20 persen, Pemkot Makassar 10 persen, Pemkab Gowa 10 persen, dan Yayasan Pembangunan Sulawesi Selatan 10 persen.

Namun, seiring waktu, kepemilikan saham pemerintah itu terus menurun.

"Ini kan semua tergerus," ujarnya.

Baca Juga: 16 Tahun Disimpan Rapat: Kisah Pilu RR Korban Pelecehan Seksual di Kantor PLN

"Pemprov menerima kabarnya baru Rp6 miliar, Pemkot Makassar Rp3 miliar, dan Pemkab Gowa juga Rp3 miliar. Sangat kecil untuk perusahaan sebesar itu," lanjutnya lagi.

Ia menduga ada praktik manipulasi yang menyebabkan nilai dividen untuk daerah menjadi tidak proporsional. Temuan ini, kata dia, harus ditindaklanjuti secara serius.

"Bisa saja ini pidana. Karena ada kerugian yang seakan-akan GMTD melakukan manipulasi sehingga dividen kepada pemerintah sangat kecil," tegas Kadir.

Kadir juga menyoroti pergeseran orientasi bisnis GMTD yang dinilai tidak lagi sesuai dengan izin awal yang diberikan gubernur.

Dalam dokumen izin prinsip tahun 1991, GMTD diberikan kuasa mengelola sekitar 1.000 hektare untuk pengembangan kawasan pariwisata.

Namun, dalam perjalanannya, proyek GMTD berubah menjadi bisnis properti yang berfokus pada penjualan rumah dan kavling.

"Ini sudah melenceng dari SK Gubernur. Izin awal itu untuk pariwisata, tapi sekarang fokus ke perumahan," ujar Kadir.

Ia juga menyinggung kemunculan perusahaan lain yang diduga terkait GMTD, yakni PT Makassar Permata Sulawesi.

Perusahaan inilah yang disebut-sebut menjual sebagian lahan GMTD.

"Seakan-akan GMTD hanya nama saja. Ada perusahaan lain yang bekerja menjual lahan milik GMTD. Ini yang kami sebut manipulasi," katanya.

Opsi Hak Angket

Sebagai bentuk pengawasan, DPRD Sulsel akan memanggil GMTD untuk memberikan klarifikasi.

Mekanisme rapat dengar pendapat hingga penggunaan hak angket menurut Kadir terbuka untuk dipertimbangkan.

"Inilah yang akan kami telusuri. Jangan masyarakat Sulsel dirugikan. GMTD itu bagus awalnya, tapi setelah perusahaan besar masuk, saham pemerintah malah tergerus," katanya.

Saat ini agenda DPRD masih padat. Termasuk rapat paripurna, pengawasan, dan rapat Badan Anggaran di Jakarta. Setelah rangkaian agenda itu selesai, pemanggilan GMTD akan dijadwalkan.

Sekretaris Daerah Pemprov Sulsel, Jufri Rahman juga membenarkan bahwa kontribusi dividen GMTD kepada pemerintah daerah sangat minim.

Bahkan pernah ada periode ketika dividen tidak disetor sama sekali dengan alasan pandemi Covid-19.

"Saham kita saat GMTD baru dibangun cukup besar, tapi setiap tahun terdelusi karena Lippo terus tambah modal. Sementara Pemprov kesulitan menambah modal, sehingga saham kita berkurang," jelasnya.

Namun, Jufri menilai alasan pandemi tidak sepenuhnya relevan karena sektor perumahan tetap berjalan.

"Meski Covid, kan tetap ada yang beli rumah. Artinya ada uang masuk," ujarnya.

Kondisi itu yang membuat Pemprov meminta pendampingan Jaksa Pengacara Negara (JPN).

Hasilnya, tahun lalu GMTD baru membayar kontribusi sebesar Rp303.000.600. Itu pun disebut sebagai kontribusi pertama setelah sekian lama tidak menyetor apa-apa.

Karena posisinya sebagai pemegang saham kedua terbesar, Pemprov Sulsel merasa wajar jika mendapatkan kursi direksi di tubuh GMTD.

Namun selama ini, perwakilan pemerintah hanya ditempatkan sebagai komisaris independen.

"Kadang kontribusi komisaris independen saja tidak dihargai," kata Jufri.

Ia menegaskan pihaknya menunggu arahan gubernur untuk melanjutkan evaluasi, termasuk kemungkinan langkah hukum jika diperlukan.

"Harus. Ini akan segera dibahas," katanya.

Kontributor : Lorensia Clara Tambing

Load More