Muhammad Yunus
Senin, 10 November 2025 | 05:05 WIB
Jejak pertautan orang Bugis dan Melayu dari Arsip Nasional [SuaraSulsel.id/Istimewa]
Baca 10 detik
  • Tersimpan jejak peradaban lain yang turut membentuk wajah rakyat Sulawesi Selatan
  • Hubungan antara orang Bugis-Makassar dan Melayu telah terjalin sejak abad ke-15
  • Bugis-Melayu merujuk pada orang-orang Melayu yang menetap di tanah Bugis

Dari persatuan itulah lahir keturunan yang kelak menjadi raja-raja di wilayah Ajatappareng dan Mallusetasi, dua kerajaan pesisir di barat Sulawesi Selatan.

Cerita ini, meski berbalut mitos, menegaskan bahwa pertautan Bugis dan Melayu sudah berlangsung bahkan sebelum abad ke-16.

Pada masa berikutnya, pelabuhan Somba Opu tumbuh menjadi simpul penting perdagangan di kawasan timur Nusantara. Kapal-kapal dari Melaka dan Maluku singgah di sini, membawa rempah, sutra, dan cerita.

Pedagang Melayu pun mulai menetap, membangun kampung, dan mendirikan surau.

Di tempat baru itulah, orang-orang Melayu memulai hidup baru. Mereka menjadikan Sulawesi Selatan bukan sekadar persinggahan, tetapi tanah bermastautin.

Mereka membentuk komunitas di Suppa, Tanete, Siang, Tallo-Gowa, Sanrabone, dan Selayar. Daerah ini adalah pusat-pusat kerajaan yang kala itu ramai oleh aktivitas pelayaran dan perdagangan.

Sementara di wilayah Bone, Wajo, dan Luwu, ulama-ulama Melayu memainkan peran besar dalam penyiaran Islam.

Dari Wajo dan Luwu, ajaran Islam kemudian menjalar ke pelosok Bugis dan Makassar, menjadikan kawasan ini sebagai salah satu pusat dakwah awal di timur Nusantara.

Pada abad ke-17, orang Melayu menjadi salah satu komunitas asing terpenting di Makassar. Sejajar dengan orang Jawa, Portugis, dan Arab.

Baca Juga: Bagaimana Selera Otomotif Warga Makassar? Ini Kata Suzuki

Mereka menempati kawasan khusus di bawah koordinasi syahbandar, membentuk komunitas yang kemudian dikenal sebagai Kampung Melayu, kawasan yang kini masih ada di sekitar Masjid Makmur Melayu, berdiri sejak tahun 1760.

Di kampung tua itulah jejak sejarah kembali berkelindan dengan kisah nasional Pangeran Diponegoro, sang pejuang Jawa, dimakamkan di kawasan yang sama.

Integrasi Bugis dan Melayu tak berhenti pada perdagangan atau agama. Juga menembus batas sosial dan politik.

Banyak bangsawan Bugis menikah dengan keturunan Melayu, melahirkan generasi baru yang menjadi bagian penting dalam struktur kerajaan.

Di tangan mereka, tradisi tulis-menulis, ilmu agama, dan pengetahuan maritim terus berkembang.

Namun hubungan ini juga diuji oleh sejarah. Ketika Perang Makassar meletus pada 1666, orang Melayu yang telah lama bermukim di Gowa memilih berpihak kepada kerajaan itu untuk melawan Bone dan sekutu Belanda.

Load More