- Tersimpan jejak peradaban lain yang turut membentuk wajah rakyat Sulawesi Selatan
- Hubungan antara orang Bugis-Makassar dan Melayu telah terjalin sejak abad ke-15
- Bugis-Melayu merujuk pada orang-orang Melayu yang menetap di tanah Bugis
Dari persatuan itulah lahir keturunan yang kelak menjadi raja-raja di wilayah Ajatappareng dan Mallusetasi, dua kerajaan pesisir di barat Sulawesi Selatan.
Cerita ini, meski berbalut mitos, menegaskan bahwa pertautan Bugis dan Melayu sudah berlangsung bahkan sebelum abad ke-16.
Pada masa berikutnya, pelabuhan Somba Opu tumbuh menjadi simpul penting perdagangan di kawasan timur Nusantara. Kapal-kapal dari Melaka dan Maluku singgah di sini, membawa rempah, sutra, dan cerita.
Pedagang Melayu pun mulai menetap, membangun kampung, dan mendirikan surau.
Di tempat baru itulah, orang-orang Melayu memulai hidup baru. Mereka menjadikan Sulawesi Selatan bukan sekadar persinggahan, tetapi tanah bermastautin.
Mereka membentuk komunitas di Suppa, Tanete, Siang, Tallo-Gowa, Sanrabone, dan Selayar. Daerah ini adalah pusat-pusat kerajaan yang kala itu ramai oleh aktivitas pelayaran dan perdagangan.
Sementara di wilayah Bone, Wajo, dan Luwu, ulama-ulama Melayu memainkan peran besar dalam penyiaran Islam.
Dari Wajo dan Luwu, ajaran Islam kemudian menjalar ke pelosok Bugis dan Makassar, menjadikan kawasan ini sebagai salah satu pusat dakwah awal di timur Nusantara.
Pada abad ke-17, orang Melayu menjadi salah satu komunitas asing terpenting di Makassar. Sejajar dengan orang Jawa, Portugis, dan Arab.
Baca Juga: Bagaimana Selera Otomotif Warga Makassar? Ini Kata Suzuki
Mereka menempati kawasan khusus di bawah koordinasi syahbandar, membentuk komunitas yang kemudian dikenal sebagai Kampung Melayu, kawasan yang kini masih ada di sekitar Masjid Makmur Melayu, berdiri sejak tahun 1760.
Di kampung tua itulah jejak sejarah kembali berkelindan dengan kisah nasional Pangeran Diponegoro, sang pejuang Jawa, dimakamkan di kawasan yang sama.
Integrasi Bugis dan Melayu tak berhenti pada perdagangan atau agama. Juga menembus batas sosial dan politik.
Banyak bangsawan Bugis menikah dengan keturunan Melayu, melahirkan generasi baru yang menjadi bagian penting dalam struktur kerajaan.
Di tangan mereka, tradisi tulis-menulis, ilmu agama, dan pengetahuan maritim terus berkembang.
Namun hubungan ini juga diuji oleh sejarah. Ketika Perang Makassar meletus pada 1666, orang Melayu yang telah lama bermukim di Gowa memilih berpihak kepada kerajaan itu untuk melawan Bone dan sekutu Belanda.
Berita Terkait
Terpopuler
- 5 Perbedaan Toyota Avanza dan Daihatsu Xenia yang Sering Dianggap Sama
- Sulit Dibantah, Beredar Foto Diduga Ridwan Kamil dan Aura Kasih Liburan ke Eropa
- 5 Mobil SUV Bekas Terbaik di Bawah Rp 100 Juta, Keluarga Nyaman Pergi Jauh
- 13 Promo Makanan Spesial Hari Natal 2025, Banyak Diskon dan Paket Hemat
- 5 Mobil Bekas di Bawah 50 Juta Muat Banyak Keluarga, Murah tapi Mewah
Pilihan
-
Penuhi Syarat Jadi Raja, PB XIV Hangabehi Genap Salat Jumat 7 Kali di Masjid Agung
-
Satu Indonesia ke Jogja, Euforia Wisata Akhir Tahun dengan Embel-embel Murah Meriah
-
Harga Pangan Nasional Kompak Turun Usai Natal, Cabai hingga Bawang Merah Merosot Tajam
-
7 Langkah Investasi Reksa Dana untuk Kelola Gaji UMR agar Tetap Bertumbuh
-
Bencana Sumatera 2025 Tekan Ekonomi Nasional, Biaya Pemulihan Melonjak Puluhan Triliun Rupiah
Terkini
-
Viral Dosen UIM Meludahi Kasir karena Potong Antrean: Etika Akademisi di Ruang Publik Dipertanyakan
-
Inilah Daftar Gaji Minimum Pekerja di Kota Makassar Mulai 2026
-
Stok Aman, Harga Agak Goyah: Cek Harga Bahan Pokok di Palu Jelang Natal & Tahun Baru 2026
-
Gubernur Sulsel Groundbreaking 'Jalan Tol' 35 KM Hubungkan Luwu Timur dan Sulawesi Tengah
-
BI Sultra Siapkan Rp980 Miliar Uang Tunai untuk Nataru 2025/2026