Muhammad Yunus
Selasa, 28 Oktober 2025 | 13:44 WIB
Eunike Megawati, guru bimbingan konseling di Sekolah Rakyat Menengah Pertama (SRMP) 23 Makassar [Suara.com/ANTARA]
Baca 10 detik
  • Banyak siswanya berasal dari latar belakang sulit secara ekonomi
  • Ada yang hidup bersama nenek, korban perceraian orang tua, ada pula yang berasal dari keluarga miskin ekstrem
  • Banyak siswa yang berbicara dalam bahasa Makassar, sementara ia baru datang dari Jawa Tengah

SuaraSulsel.id - Dari Semarang, Jawa Tengah, seorang guru bimbingan konseling (BK) bernama Eunike Megawati kini menapaki babak baru hidupnya di Sekolah Rakyat Menengah Pertama (SRMP) 23 Makassar.

Sejak pertengahan Juli lalu, ia menjadi bagian dari sekolah yang didirikan pemerintah untuk memberi kesempatan belajar bagi anak-anak dari keluarga prasejahtera.

Sebelumnya dia pernah mengajar di sebuah sekolah reguler di Jawa Tengah, selama enam bulan.

Kisahnya menjadi guru di SRMP 23 Makassar bermula saat Eunike mendaftar sebagai guru melalui jalur Pegawai Pemerintah dengan Perjanjian Kerja (P3K).

Ketika mengetahui adanya pembukaan formasi guru untuk Sekolah Rakyat, ia tertarik karena melihat programnya yang berfokus pada pelayanan bagi kelompok marjinal.

Rasa terpanggil untuk mengajar di Sekolah Rakyat membuatnya ikut mendaftar, dan tak disangka ia justru ditempatkan di sekolah tersebut.

"Jadi saya terpanggil, saya ikut daftar. Kemudian ternyata saya ditempatkan di sini (SRMP 23 Makassar). Ya berarti memang takdirnya saya ada di sini," kata Eunike.

Di sekolah berasrama itu, banyak siswanya berasal dari latar belakang sulit. Ada yang hidup bersama neneknya karena ditinggal orang tua, korban perceraian orang tua, ada pula yang berasal dari keluarga miskin ekstrem.

Bagi Eunike, tugasnya sebagai guru BK tidak hanya membantu anak memahami pelajaran, tetapi juga membangun rasa percaya diri dan keterbukaan pada murid-murid binaannya.

Baca Juga: Polisi Makassar Dipecat Tidak Hormat! Ketahuan Lakukan Ini...

Pada masa awal penugasan, ia sempat menghadapi kendala bahasa. Banyak siswanya yang berbicara dalam bahasa Makassar, sementara ia baru datang dari Jawa Tengah.

Dalam beberapa minggu pertama, ia bahkan harus meminta bantuan rekan kerja sesama guru untuk menerjemahkan ucapan murid-muridnya.

Namun seiring waktu, ia mulai memahami bahasa lokal, bahkan bisa mengenali maksud mereka meskipun dia mengaku masih belum fasih bahasa Makassar.

Perbedaan cara menghadapi siswa juga dirasakan oleh guru berusia 32 tahun itu, misalnya ketika memergoki murid sedang di luar kelas saat jam pelajaran.

Jika di sekolah sebelumnya cukup dengan dilihat saja siswa sudah paham dan langsung masuk kelas, di SRMP 23 Makassar Eunike perlu mengambil langkah yang lebih lembut. Ia menanyakan terlebih dahulu alasan siswa berada di luar kelas saat jam pelajaran dan diajak kembali ke kelas dengan cara yang halus agar mereka mau mendengarkan.

Selama tiga bulan pertama, para guru memfokuskan pembelajaran pada penguatan kepribadian siswa, membiasakan mereka berbicara di depan umum, berani menyampaikan pendapat, dan terbuka pada guru.

Load More