Muhammad Yunus
Selasa, 16 September 2025 | 14:02 WIB
Seorang perempuan diduga menjadi korban prostitusi online lewat aplikasi MiChat [Suara.com/Dok Polisi]

Celah ini kian diperparah oleh lemahnya regulasi dan kontrol sosial.

"Penegakan hukum pun masih reaktif, bukan preventif. Pengawasan di level komunitas juga lemah, contohnya penginapan yang bisa menerima tamu berpasangan tanpa verifikasi," sebutnya.

Fakta lain dalam sejumlah kasus seperti di Sidrap, kata Idham, ada suami yang justru terlibat menunjukkan kuatnya cengkeraman patriarki.

Perempuan bukan hanya menghadapi risiko kekerasan psikis dan fisik, tetapi juga potensi diperdagangkan oleh pasangan sendiri.

Untuk mengurangi fenomena ini, Idham menilai perlu kebijakan multidimensi. Mulai dari regulasi digital, pemberdayaan ekonomi, edukasi gender, hingga penegakan hukum yang proaktif.

Tak kalah penting, penguatan jaring sosial di tingkat bawah. Dari RT, RW, Linmas, hingga lembaga kemasyarakatan untuk membangun sistem perlindungan yang lebih kokoh.

Bukan Kasus Pertama

Kasus MKP bukan yang pertama. Dalam dua tahun terakhir, aplikasi MiChat beberapa kali dikaitkan dengan tindak pidana di Sulawesi Selatan.

Pada 25 Desember 2024, seorang pria berinisial ASO (33) di Makassar dikeroyok setelah membatalkan pesanan kencan dengan seorang remaja perempuan.

Baca Juga: Anggota DPRD Wakatobi Jadi Tersangka Pembunuhan Anak Tahun 2014

Sebelumnya, pada 1 Agustus 2023 seorang pria lain, MF (26) juga tewas ditikam di sebuah hotel melati setelah mencoba melerai pertengkaran antara pekerja seks dan pemesannya yang juga dipertemukan lewat aplikasi Michat.

Rangkaian kasus ini menegaskan bahwa kejahatan di ruang virtual kini nyata menelan korban jiwa.

Kontributor : Lorensia Clara Tambing

Load More