Muhammad Yunus
Selasa, 16 September 2025 | 14:02 WIB
Seorang perempuan diduga menjadi korban prostitusi online lewat aplikasi MiChat [Suara.com/Dok Polisi]

"Suaminya terpaksa menerima. Bahkan pernikahan mereka sudah di ambang perceraian," kata Fantry.

Meski begitu, polisi menegaskan suami korban tidak terlibat sebagai muncikari. Semua transaksi dan pemesanan dilakukan langsung oleh korban melalui aplikasi.

Kini, ia hanya diperiksa sebagai saksi.

Kisah MKP adalah gambaran getir dari banyak perempuan di Sulawesi Selatan yang terseret ke dunia prostitusi online.

Layanan seperti MiChat, yang awalnya aplikasi perpesanan, kini menjadi ruang transaksi seksual berlangsung cepat, praktis, dan nyaris tanpa kontrol.

Tekanan Ekonomi

Sosiolog Universitas Negeri Makassar, Idham Irwansyah menilai, di balik praktik yang kerap dipandang sekadar penyimpangan moral, tersimpan cerita soal tekanan ekonomi, keterbatasan pekerjaan.

Hingga relasi kuasa yang timpang antara perempuan dan laki-laki.

Sebagian besar yang terlibat adalah ibu rumah tangga atau istri yang terdesak kebutuhan hidup.

Baca Juga: Anggota DPRD Wakatobi Jadi Tersangka Pembunuhan Anak Tahun 2014

Ketika penghasilan keluarga tidak mencukupi, aplikasi daring menjadi jalan pintas meski penuh risiko.

"Perempuan dalam situasi sulit seringkali dipaksa membuat pilihan yang sebenarnya tidak mereka inginkan," kata Idham.

Menurutnya, prostitusi daring juga bukan semata hasil dari kemajuan teknologi.

Tapi merupakan produk interaksi kompleks, antara tekanan ekonomi, pengangguran, gaya hidup konsumtif, hingga budaya patriarki yang membuat perempuan berada di posisi rentan.

"Faktor ekonomi jelas mendorong orang melakukan apa saja. Tapi ada juga dorongan gaya hidup di era konsumsi saat ini, dimana bekerja tidak lagi sekadar untuk kebutuhan dasar," jelasnya.

Kemudahan teknologi digital berperan sebagai katalis. Aplikasi kencan memfasilitasi pertemuan, transaksi, hingga layanan seksual hanya lewat gawai.

Load More