SuaraSulsel.id - Di tengah geliat eksplorasi dan pengembangan blok-blok migas di kawasan Selat Makassar. Pemerintah Kabupaten Donggala, Sulawesi Tengah, menyuarakan sesuatu yang tak bisa lagi diabaikan. Keadilan bagi daerah terdampak langsung.
Bupati Donggala, Vera Elena Laruni, dengan tegas menyatakan bahwa kabupaten yang dipimpinnya harus diakui sebagai pihak yang secara geografis dan sosial-ekonomi terdampak dari aktivitas hulu migas.
Terutama di Blok North Ganal dan Blok Rapak yang kini memasuki tahap pengembangan.
“Donggala berada tepat di hadapan area operasi Blok North Ganal dan Rapak. Garis pantai kami di sisi barat Sulawesi Tengah bersinggungan langsung dengan wilayah eksplorasi yang dikelola Eni Indonesia,” ujarnya dalam keterangan tertulis yang diterima Minggu, 29 Juni 2025.
Baca Juga: Daftar 5 Perusahaan yang Dapat Izin Tambang Nikel di Raja Ampat
Pernyataan itu bukan tanpa alasan. Selama bertahun-tahun, masyarakat pesisir Donggala—khususnya nelayan—harus menghadapi dampak langsung dari aktivitas pengeboran laut dalam, lalu lintas kapal seismik.
Serta operasi logistik yang melintasi perairan tangkap mereka.
Vera menyebutkan bahwa perubahan akses terhadap wilayah tangkapan ikan serta kekhawatiran atas potensi kerusakan lingkungan telah menjadi persoalan yang nyata.
“Nelayan kami mulai merasa terpinggirkan. Mereka kehilangan akses terhadap titik-titik tangkapan tradisional karena kehadiran kapal-kapal besar dan aktivitas pengeboran,” tutur Vera.
Situasi ini mengantar Pemkab Donggala pada satu titik penting: menuntut pengakuan atas hak Participating Interest (PI) sebesar 10 persen sebagaimana diatur dalam Peraturan Menteri ESDM Nomor 37 Tahun 2016.
Baca Juga: Geger! Perusahaan Italia Temukan 'Harta Karun' di Selat Makassar, Bahlil: Percepat Eksploitasi
Hak ini diberikan kepada daerah yang terdampak langsung atas aktivitas migas sebagai bentuk partisipasi daerah dalam pengelolaan sumber daya alam nasional.
Menurut Vera, bukan hanya PI yang menjadi perhatian. Donggala juga menuntut pembagian Dana Bagi Hasil (DBH) yang lebih adil dan proporsional.
Pemerintah pusat, menurutnya, harus memandang dampak langsung yang dialami masyarakat pesisir sebagai dasar pertimbangan dalam perhitungan kontribusi fiskal ke daerah.
“Tidak adil bila daerah yang hanya menjadi penonton dan menanggung dampak, tidak mendapatkan bagian yang layak dari sumber daya alam yang diambil dari wilayah lautnya sendiri,” kata Vera.
Ia menekankan bahwa sikap Pemkab Donggala bukanlah bentuk perlawanan, melainkan langkah konstruktif untuk memperjuangkan hak masyarakatnya secara adil dan sesuai regulasi.
Pemerintah daerah bahkan sudah mempersiapkan pembentukan Badan Usaha Milik Daerah (BUMD) yang akan menerima dan mengelola PI tersebut.
Lebih dari itu, Donggala sedang menyusun dokumen teknis yang mendetail. Dokumen tersebut akan memuat peta kedekatan geografis antara wilayah Donggala dengan titik operasi migas.
Termasuk kajian atas dampak sosial dan ekonomi yang ditimbulkan.
“Langkah kami terukur. Kami tidak sedang asal menuntut, tapi berbicara berdasarkan data dan fakta di lapangan. Kami ingin duduk bersama pemerintah pusat dan para kontraktor migas dengan kepala dingin, membahas hak dan tanggung jawab masing-masing,” jelasnya.
Vera memastikan bahwa pihaknya akan segera mengirimkan surat resmi kepada SKK Migas, Kementerian ESDM, dan Kementerian Keuangan.
Isi surat tersebut adalah permintaan pengakuan hak atas PI dan pembagian DBH yang proporsional.
“Kami ingin membangun sinergi yang adil antara pusat, daerah, dan pelaku usaha. Ini era keterbukaan informasi. Jangan sampai desentralisasi fiskal hanya menjadi slogan, sementara daerah-daerah seperti Donggala tetap dimarginalkan dalam proses pengambilan keputusan,” ujarnya tegas.
Langkah yang diambil oleh Pemkab Donggala ini menjadi cermin dari meningkatnya kesadaran daerah-daerah penghasil dan terdampak sumber daya alam atas hak konstitusional mereka.
Di sisi lain, hal ini juga menjadi ujian bagi komitmen pemerintah pusat terhadap pemerataan pembangunan dan penghormatan terhadap prinsip keadilan fiskal.
Kabupaten Donggala kini berada dalam posisi strategis namun juga rentan. Di satu sisi, ada peluang besar dari geliat industri migas.
Namun di sisi lain, ada risiko ketimpangan, marginalisasi masyarakat lokal, dan kerusakan lingkungan jika pengelolaan tidak dilakukan secara adil dan inklusif.
Akhirnya, suara dari pesisir barat Sulawesi Tengah ini tidak hanya mencerminkan kepentingan satu daerah.
Ini adalah suara dari ratusan ribu masyarakat pesisir yang ingin dilibatkan, dihormati, dan dilindungi dalam setiap proses pembangunan yang menyangkut ruang hidup mereka.
Berita Terkait
Terpopuler
- 5 Mobil Lawas Seharga Honda BeAT 2025: Cocok Untuk Pemula, Mesin Tak Gampang Rewel
- Roy Suryo Datangi Lokasi Pasar Pramuka, Ditemukan Banyak Pemberitahuan soal Ijazah
- 5 Rekomendasi Mobil Bekas Murah Eropa Rp 100 Jutaan, Desain Elegan dan Menawan
- Kontras Persiapan Timnas Indonesia dan Malaysia Jelang Piala AFF U-23, Merah Putih Tanpa Uji Coba
- Bingung Pilih Parfum Tahan Lama di Cuaca Panas? Ini Rekomendasi Terbaiknya
Pilihan
-
Sempat Molor, Revisi Permendag Nomor 8 Akhirnya Terbit
-
Ada Evaluasi, Ini 52 BUMN yang Dilarang Danantara Rombak Jajaran Direksi
-
Siapa Patricio Matricardi? Pemain Berbandrol Rp6 M yang Dirumorkan ke Persib
-
5 Mobil Lawas Rp30 Jutaan: Barang Sejuta Kenangan, Performa Tak Lekang Jaman
-
Kejanggalan Status Kewarganegaraan Mees Hilgers, Media Belanda Ungkap Hal Mengejutkan
Terkini
-
Apa Perbedaan QRIS Tap dan QRIS Berbasis Kode QR?
-
Kapan SPMB SMP 2025 di Kota Makassar? Ini Jadwal Lengkap dan Kuota yang Tersedia
-
BRILiaN dan BRI, Pilar Kuat di Balik Sukses UMKM ToRi Coffee
-
Nomor WA Lapor Pelanggaran di Lokasi Wisata Ekstrem Indonesia
-
Eksplorasi Migas di Selat Makassar, Kabupaten Ini Minta Hak 10 Persen