Scroll untuk membaca artikel
Muhammad Yunus
Senin, 19 Mei 2025 | 14:10 WIB
Sekretaris Daerah Pemprov Sulsel Jufri Rahman mengatakan pemerintah akan melaporkan Magdalena De Munnik ke polisi atas dugaan dokumen palsu, Senin 19 Mei 2025 [SuaraSulsel.id/Lorensia Clara Tambing]

SuaraSulsel.id - Pemerintah Provinsi Sulawesi Selatan akan melaporkan Magdalena De Munnik ke polisi atas dugaan penggunaan dokumen palsu.

Dalam perkara sengketa lahan seluas 52 hektare di Kecamatan Manggala, Kota Makassar.

Sekretaris Daerah Pemprov Sulsel Jufri Rahman mengatakan, pihaknya menemukan ada keterangan tidak benar dan dokumen yang diduga palsu.

Dalam berkas persidangan yang diajukan Magdalena ke Pengadilan Tinggi Makassar.

Baca Juga: Mengenal Eigendom Verponding: Warisan Kolonial Belanda yang Masih Menjadi Masalah

"Setelah diperiksa ada dokumen yang ditengarai palsu. Magdalena menempatkan keterangan palsu di atas akta yang seolah-olah asli," ujar Jufri Rahman, Senin, 19 Mei 2025.

Kata Jufri, dokumen yang dipersoalkan disebutkan berasal dari tahun 2011, sementara perkara yang disengketakan baru muncul pada 2015.

Di dalamnya juga terdapat logo Badan Pertanahan Nasional (BPN), namun BPN membantah pernah mengeluarkan dokumen tersebut.

"Jadi seolah-olah dia peramal, bisa meramalkan kejadian empat tahun ke depan. Jadi kalau itu barang palsu digunakan dan menang, ada kemungkinan dibatalkan MA. Kita berharap persidangannya (Kasasi) fair," lanjut Jufri.

Kepala Biro Hukum Pemprov Sulsel, Herwin Firmansyah, menambahkan laporan pidana terhadap Magdalena akan dilayangkan pekan ini.

Baca Juga: Negara ke Mana? Ribuan Warga Makassar Terancam Digusur Karena Dokumen Belanda

"Minggu ini juga kami akan melapor pidana. (Pihak) Magdalena saja," kata Herwin.

Menurutnya, dasar gugatan berupa hak barat yang diajukan Magdalena sah saja secara hukum. Namun, penggunaan dokumen yang ditengarai palsu menjadi inti permasalahan.

"Nanti BPN siap bersaksi karena mereka yakin itu palsu," sebutnya.

Sebelumnya, Pengadilan Tinggi (PT) Makassar memenangkan Samla Dg Ngimba dan Magdalena De Munnik dalam sengketa lahan seluas 52 hektare melawan Pemerintah Kota Makassar, Pemerintah Provinsi Sulawesi Selatan, serta BPN Kota dan Provinsi.

Putusan dalam perkara nomor 57/PDT/2025/PT.Mksr pada 19 Maret 2025 ini membatalkan putusan Pengadilan Negeri Makassar yang sebelumnya menyatakan Magdalena dan Samla kalah dalam tingkat pertama.

Lahan yang disengketakan awalnya diajukan Hak Pengelolaan Lahan (HPL)-nya oleh Gubernur Sulsel pada tahun 1992 dan digunakan sebagai perumahan bagi pegawai pemerintah.

Lahan tersebut pernah dikelola dengan Hak Guna Usaha (HGU) secara perseorangan oleh Fachruddin Romo. Akan tetapi masa berlaku HGU telah habis dan perpanjangan ditolak oleh BPN.

Dalam proses sengketa kemudian muncul dua klaim waris. Mereka adalah Magdalena De Munnik sebagai penggugat intervensi dan Samla Dg Ngimba sebagai penggugat asal.

Samla Dg Ngimba mengaku mewarisi lahan dari orang tuanya, sementara Magdalena menyatakan sebagai ahli waris dari Cornelis De Munnik dan memiliki bukti berupa akta jual beli dan Surat Ukur tahun 1930.

Namun, keabsahan bukti ini dipertanyakan oleh para tergugat. Pemprov Sulsel bersama BPN Kota dan Provinsi Sulawesi Selatan kemudian mengajukan kasasi ke Mahkamah Agung pada April 2025.

Menurut BPN, pertimbangan hakim dinilai keliru terutama dalam menerima bukti yang tidak pernah diperiksa di tingkat pertama dan menganggap dua objek sengketa antara penggugat asal dan intervensi berada di lokasi yang sama. Padahal tidak jelas batas-batasnya.

Persoalannya ada pada objek pokok sengketa berupa tanah yang menurut dalil penggugat asal merupakan hak waris dari orang tuanya.

Sedangkan menurut penggugat intervensi, objek sengketa berupa tanah eigendom yang sampai saat ini masih tercatat dan merupakan hak milik dari P. Cornelis De Munnik sebagai ahli waris.

Selain itu, BPN menyoroti bahwa tanah bekas hak barat seperti yang diklaim Magdalena tidak lagi diakui secara hukum berdasarkan PP No. 18 Tahun 2021.

Menurut pihak BPN, pertimbangan di atas jelas sangat keliru. Bagaimana bisa majelis hakim Tingkat Banding berpendapat bahwa dasar penggugat asal dengan penggugat intervensi berada pada lokasi yang sama.

Padahal dalam gugatan atau permohonan intervensi, objek yang diklaim tidak jelas batasnya.

Penggugat intervensi juga bukan sebagai pihak yang menguasai objek perkara.

Bahkan, apabila merujuk pada riwayat tanah (objek yang diklaim oleh penggugat asal), berdasarkan bukti yang diajukan oleh Kepala Kantor Pertanahan Kota Makassar berupa Recht van Erfpacht Verp. No. 12 justru menunjukkan riwayat yang berbeda dengan penggugat intervensi.

Sehingga, majelis hakim Tingkat Banding dianggap terlalu memaksakan pertimbangannya yang bertentangan dengan Yurisprudensi Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 1149 K/Sip/1975 tanggal 17 April 1975 yang
menyatakan, "oleh karena surat gugatan tidak menyebut dengan jelas letak tanah sengketa, gugatan tidak dapat diterima atas alasan obscuur libel".

BPN juga merasa keberatan dengan pertimbangan majelis hakim yang masih mempertimbangkan tanah bekas hak barat yang tidak jelas lokasi dan kebenarannya.

Hak barat adalah hak atas tanah yang diatur dalam hukum perdata barat. Hak ini dibawa oleh Pemerintah Hindia Belanda ke Indonesia pada masa penjajahan.

Dalam Peraturan Pemerintah Nomor 18 Tahun 2021 tentang Hak Pengelolaan, Hak Atas Tanah, Satuan Rumah Susun, dan Pendaftaran Tanah disebutkan, alat bukti tertulis tanah bekas hak barat dinyatakan tidak berlaku dan statusnya menjadi tanah yang dikuasai langsung oleh negara.

Kemudian, pendaftaran tanah bekas hak barat sebagaimana dimaksud di atas, mendasarkan pada surat pernyataan penguasaan fisik yang diketahui dua orang saksi dan bertanggung jawab secara perdata dan pidana.

Dengan sejumlah keberatan itu, Pemprov Sulsel dan BPN berharap Mahkamah Agung membatalkan putusan Pengadilan Tinggi dan mengembalikan kepemilikan lahan kepada negara.

Kontributor : Lorensia Clara Tambing

Load More