Scroll untuk membaca artikel
Muhammad Yunus
Senin, 17 Maret 2025 | 09:21 WIB
Suasana prosesi adat "Katto Bokko" saat musim panen yang hingga kini tetap dilestarikan oleh Pemangku Adat Kekaraengan Marusu bersama warga setempat di Kabupaten Maros [Suara.com/ANTARA]

SuaraSulsel.id - Di tengah pesatnya modernisasi, ada satu tradisi yang masih tetap bertahan di Kabupaten Maros, Sulawesi Selatan.

Katto Bokko, upacara adat panen raya yang diwarisi dari Kerajaan Marusu, masih dilaksanakan dengan penuh khidmat oleh masyarakat dan pemangku adat setempat.

Upacara ini bukan sekadar perayaan hasil panen, tetapi juga bentuk rasa syukur kepada Tuhan atas rezeki yang melimpah.

Pengamat budaya Dr. Ery Iswary, yang juga dosen di Fakultas Ilmu Budaya Universitas Hasanuddin, menuturkan bahwa Katto Bokko memiliki keunikan tersendiri dibandingkan pesta panen di daerah lain.

Baca Juga: Jadwal Buka Puasa Kabupaten Maros dan Sekitarnya, Minggu 9 Maret 2025

"Dalam prosesi ritual Katto Bokko, terdapat kegiatan aru, yaitu aru tomarusu dan aru tubarania, yang menjadi bagian penting dalam pelaksanaannya," ujarnya.

Ritual ini dimulai sejak tahap pemilihan benih hingga panen dengan tetap menggunakan alat tradisional seperti ani-ani dan sabit.

Sebelum pelaksanaan Katto Bokko, pemangku adat dan masyarakat berkumpul untuk menentukan hari baik guna melaksanakan panen perdana secara bersama-sama.

Lebih dari sekadar ungkapan rasa syukur, Katto Bokko juga menjadi wujud pelestarian kearifan lokal.

Nilai-nilai gotong royong begitu kental dalam tradisi ini, di mana pemimpin dan rakyat duduk bersama, tanpa sekat.

Baca Juga: Assuro Maca, Tradisi Masyarakat Bugis-Makassar yang Masih Lestari Jelang Ramadan

"Dalam pesta ini, tidak ada perbedaan antara masyarakat biasa dengan pemangku adat atau raja. Mereka saling bekerja sama, bergotong royong, dan menikmati hasil panen bersama," kata Dr. Ery Iswary.

Pemangku Adat Kekaraengan Marusu, Abd Haris Karaeng Sioja, turut membenarkan hal tersebut.

Menurutnya, Katto Bokko menjadi momen di mana para penggarap sawah, pemilik lahan, serta pemimpin adat berkumpul untuk membahas persoalan pertanian dan kehidupan masyarakat secara umum.

Bahkan, mereka bersama-sama mencari solusi atas berbagai tantangan yang dihadapi.

Setelah prosesi utama selesai, upacara diakhiri dengan santap bersama yang dihadiri oleh semua tamu undangan serta pemangku adat.

Suasana penuh kebersamaan inilah yang membuat Katto Bokko terasa begitu istimewa.

Menariknya, tradisi serupa juga dilakukan dalam prosesi turun sawah yang dikenal sebagai "Appalili."

Ritual ini dilakukan setiap bulan November sebagai persiapan membajak sawah dengan menggunakan tenaga sapi.

Sementara itu, Katto Bokko sendiri rutin diselenggarakan pada bulan April setiap tahunnya.

Keberlangsungan tradisi ini mendapat perhatian khusus dari pemerintah daerah.

"Alhamdulillah, prosesi adat ini sudah masuk dalam kalender wisata di Kabupaten Maros. Kami berharap hal ini dapat meningkatkan kunjungan wisata ke daerah yang dikenal sebagai 'Butta Salewangan' ini," ujar Abd Haris Karaeng Sioja.

Dengan masuknya Katto Bokko dalam kalender wisata, diharapkan tradisi ini tidak hanya lestari, tetapi juga semakin dikenal luas oleh masyarakat di luar Sulawesi Selatan.

Katto Bokko bukan sekadar ritual panen, melainkan juga warisan budaya yang mempererat kebersamaan serta menghormati hubungan harmonis antara manusia, alam, dan Sang Pencipta.

Load More