SuaraSulsel.id - Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) mencatat ada 182 kasus yang dilaporkan terkait politik uang pada pemilihan kepala daerah 2020 lalu. Masalah ini kembali berpotensi terjadi pada perhelatan Pilkada yang akan digelar pada 27 November 2024.
Hal tersebut jadi pembahasan pada Forum Komunikasi Sentra Gakkumdu Kalimantan, Sulawesi dan Maluku yang digelar di kota Makassar, Sulawesi Selatan, Kamis, 27 Juni 2024.
"Politik uang pasti selalu ada. Permasalahannya bisa direduksi atau tidak?," ujar Ketua Bawaslu RI, Rahmat Bagja.
Rahmat mengatakan pada Pilkada kali ini, pemberi dan penerima uang akan terkena pidana dan denda. Hal tersebut sudah diatur dalam Pasal 278 ayat (2), 280 ayat (1) huruf j, 284, 286 ayat (1), 515 dan 523 UU No. 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum.
Ketentuan larangan dan sanksi pidana terhadap praktik politik uang dibedakan menjadi empat kategori.
Pertama, peristiwa politik uang berdasarkan waktu kejadian yaitu peristiwa politik uang yang terjadi pada saat pemungutan suara berlangsung, kedua pada saat kampanye, ketiga pada masa tenang, dan terakhir pada hari pemungutan suara.
Pelaku praktik politik uang diancam sanksi pidana penjara dan denda berkisar antara paling lama 2 tahun dan denda 24 juta sampai dengan pidana penjara 4 tahun dan denda 48 juta.
"Ini dua-duanya kena di Pilkada. Jadi kemungkinan yang lapor itu semakin sedikit, yang mau mengaku menerima juga makin sedikit. Karena kena pidana," sebutnya.
Menurutnya, penerapan sanksi bagi pelaku politik uang sudah terlihat pada Pemilu 2020 lalu. Ada 65 kasus kepala desa dan pejabat Aparatur Sipil Negara (ASN) yang ditindak karena dianggap menguntungkan atau merugikan pasangan calon tertentu.
Baca Juga: Pilkada Serentak 27 November 2024, Masyarakat Diminta Tidak Memilih Karena Uang
Secara umum, kata Rahmat, Bawaslu RI menangani 5.334 perkara pelanggaran pada Pilkada 2020. Dari angka itu ada 3.746 sementara yang dilaporkan 1.588 kasus.
Yang paling banyak adalah pelanggaran administrasi 1.532, pelanggaran kode etik 292 kasus, 182 politik uang, 1.570 ASN memberikan dukungan politik melalui media sosial dan 1.828 perkara yang dihentikan oleh pengawas pemilihan karena kurangnya bukti.
Sementara, Deputi Bidang Koordinasi Hukum dan HAM Kemenko Polhukam Sugeng Purnomo menambahkan, politik uang bukan hanya tugas sentra penegak hukum terpadu atau Gakkumdu.
Melainkan, masyarakat sebagai pemilih juga harus saling memberikan informasi untuk menjaga jangan sampai terjadi penyimpangan.
"Misalnya, mengimbau masyarakat untuk tidak memilih karena imbalan tertentu karena termasuk money politic yang diancam dengan pidana karena mencegah tentunya akan menjadi lebih baik," katanya.
Sugeng mengatakan politik uang berpotensi besar terjadi pada Pilkada 2024. Sebab, perhelatan Pilkada merupakan kontestasi antara tokoh-tokoh daerah, yang tentunya memiliki interaksi yang cukup dekat dengan masyarakat atau pemilih.
Berita Terkait
Terpopuler
- 5 Pilihan Produk Viva untuk Menghilangkan Flek Hitam, Harga Rp20 Ribuan
- 7 Mobil Bekas di Bawah Rp50 Juta untuk Anak Muda, Desain Timeless Anti Mati Gaya
- 7 Rekomendasi Mobil Matic Bekas di Bawah 50 Juta, Irit dan Bandel untuk Harian
- 5 Mobil Mungil 70 Jutaan untuk Libur Akhir Tahun: Cocok untuk Milenial, Gen-Z dan Keluarga Kecil
- 7 Sunscreen Mengandung Niacinamide untuk Mengurangi Flek Hitam, Semua di Bawah Rp60 Ribu
Pilihan
-
BREAKING NEWS! Raja Keraton Solo PB XIII Hangabehi Wafat
-
Harga Emas Turun Hari ini: Emas Galeri di Pegadaian Rp 2,3 Jutaan, Antam 'Kosong'
-
Trik Rahasia Belanja Kosmetik di 11.11, Biar Tetap Hemat dan Tetap Glowing
-
4 HP Memori 512 GB Paling Murah, Cocok untuk Gamer dan Konten Kreator
-
3 Rekomendasi HP Infinix 1 Jutaan, Speknya Setara Rp3 Jutaan
Terkini
-
Anggota Polisi Terseret Kasus Penipuan Anggota DPRD Takalar
-
Dua Anggota DPRD Takalar Tipu Warga Ratusan Juta, Begini Modusnya...
-
Ini Pemain PSM Makassar Masuk Skuad Timnas Piala Dunia U-17
-
Cegah Banjir! Gubernur Andi Sudirman Luncurkan Normalisasi Sungai Suli Rp18,7 Miliar
-
Luwu Timur Banjir Beasiswa! Cek, Siapa Saja Beruntung Dapat Rp3 Juta?