Scroll untuk membaca artikel
Muhammad Yunus
Kamis, 27 Juni 2024 | 15:13 WIB
Warga menunjukkan tulisan penolakan politik uang saat Bawaslu On Car Free Day pada Hari Bebas Kendaraan Bermotor (HBKB) di depan gedung Bawaslu, Jakarta, Minggu (28/1/2024). (ANTARA FOTO/Hafidz Mubarak A)

SuaraSulsel.id - Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) mencatat ada 182 kasus yang dilaporkan terkait politik uang pada pemilihan kepala daerah 2020 lalu. Masalah ini kembali berpotensi terjadi pada perhelatan Pilkada yang akan digelar pada 27 November 2024.

Hal tersebut jadi pembahasan pada Forum Komunikasi Sentra Gakkumdu Kalimantan, Sulawesi dan Maluku yang digelar di kota Makassar, Sulawesi Selatan, Kamis, 27 Juni 2024.

"Politik uang pasti selalu ada. Permasalahannya bisa direduksi atau tidak?," ujar Ketua Bawaslu RI, Rahmat Bagja.

Rahmat mengatakan pada Pilkada kali ini, pemberi dan penerima uang akan terkena pidana dan denda. Hal tersebut sudah diatur dalam Pasal 278 ayat (2), 280 ayat (1) huruf j, 284, 286 ayat (1), 515 dan 523 UU No. 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum.

Baca Juga: Pilkada Serentak 27 November 2024, Masyarakat Diminta Tidak Memilih Karena Uang

Ketentuan larangan dan sanksi pidana terhadap praktik politik uang dibedakan menjadi empat kategori.

Pertama, peristiwa politik uang berdasarkan waktu kejadian yaitu peristiwa politik uang yang terjadi pada saat pemungutan suara berlangsung, kedua pada saat kampanye, ketiga pada masa tenang, dan terakhir pada hari pemungutan suara.

Pelaku praktik politik uang diancam sanksi pidana penjara dan denda berkisar antara paling lama 2 tahun dan denda 24 juta sampai dengan pidana penjara 4 tahun dan denda 48 juta.

"Ini dua-duanya kena di Pilkada. Jadi kemungkinan yang lapor itu semakin sedikit, yang mau mengaku menerima juga makin sedikit. Karena kena pidana," sebutnya.

Menurutnya, penerapan sanksi bagi pelaku politik uang sudah terlihat pada Pemilu 2020 lalu. Ada 65 kasus kepala desa dan pejabat Aparatur Sipil Negara (ASN) yang ditindak karena dianggap menguntungkan atau merugikan pasangan calon tertentu.

Baca Juga: Tito Karnavian Sentil Sulsel, Hanya Kabupaten Wajo Lunasi Anggaran Pilkada 2024

Secara umum, kata Rahmat, Bawaslu RI menangani 5.334 perkara pelanggaran pada Pilkada 2020. Dari angka itu ada 3.746 sementara yang dilaporkan 1.588 kasus.

Yang paling banyak adalah pelanggaran administrasi 1.532, pelanggaran kode etik 292 kasus, 182 politik uang, 1.570 ASN memberikan dukungan politik melalui media sosial dan 1.828 perkara yang dihentikan oleh pengawas pemilihan karena kurangnya bukti.

Sementara, Deputi Bidang Koordinasi Hukum dan HAM Kemenko Polhukam Sugeng Purnomo menambahkan, politik uang bukan hanya tugas sentra penegak hukum terpadu atau Gakkumdu.

Melainkan, masyarakat sebagai pemilih juga harus saling memberikan informasi untuk menjaga jangan sampai terjadi penyimpangan.

"Misalnya, mengimbau masyarakat untuk tidak memilih karena imbalan tertentu karena termasuk money politic yang diancam dengan pidana karena mencegah tentunya akan menjadi lebih baik," katanya.

Sugeng mengatakan politik uang berpotensi besar terjadi pada Pilkada 2024. Sebab, perhelatan Pilkada merupakan kontestasi antara tokoh-tokoh daerah, yang tentunya memiliki interaksi yang cukup dekat dengan masyarakat atau pemilih.

Olehnya, penegakan hukum adalah salah satu aspek penting yang harus diperhatikan dalam penyelenggaraan Pilkada 2024.

Kemenko Polhukam akan lebih mengintensifkan fungsi-fungsinya untuk memastikan bahwa pelaksanaan Pilkada serentak bisa berjalan dengan baik.

"Kita tidak boleh mempertaruhkan 5 tahun ke depan pemimpin daerah hanya dengan menukar yang tadi disampaikan diistilahkan dengan money politic. Bawaslu, kepolisian, kejaksaan di setiap tingkatan, baik pusat maupun daerah untuk saling bahu membahu untuk mengawal pelaksanaan Pilkada agar berjalan dengan jujur dan adil," kata Sugeng.

Kontributor : Lorensia Clara Tambing

Load More