Scroll untuk membaca artikel
Muhammad Yunus
Senin, 24 Juni 2024 | 11:00 WIB
Gaya pengusaha skincare di Kota Makassar, Nurul Damayana usai melaksanakan ibadah haji menarik perhatian [SuaraSulsel.id/Istimewa]

SuaraSulsel.id - Gaya glamor pengusaha skincare di kota Makassar usai melaksanakan ibadah haji mencuri perhatian publik. Pasalnya, wanita bernama Nurul Damayana itu tiba di Bandara Sultan Hasanuddin mengenakan pakaian nyentrik berwarna pink lengkap dengan perhiasan emasnya.

"Jujur ga gini gaya saya ya, tapi dipaksa. Katanya ini momen, adat," ujar Nurul dalam video yang diupload di akun instagramnya, Minggu, 23 Juni 2024.

Nurul dan suaminya masuk dalam kelompok terbang atau kloter pertama Embarkasi Makassar yang tiba di tanah air. Sama seperti perempuan Bugis pada umumnya yang sudah menyandang gelar haji, selalu tampil nyentrik dibalut dengan perhiasan emas.

Mereka kemudian berjalan ke pintu kedatangan dan disambut langsung oleh ratusan kerabat dan karyawannya yang sudah menunggu lama.

Baca Juga: Anggota DPRD Sulawesi Selatan Apresiasi Layanan Haji, Sebut Makanan Berlimpah

"Katanya kalau pulang haji itu harus menyala. Wajib (glamor) seperti ini. Jadi saya juga doakan kalian semua kalau pulang haji Insya Allah bisa pakai perhiasan seperti ini," ucapnya.

Penampilan cetar seperti ini bagi orang Bugis Makassar bukanlah hal yang baru. Bahkan rupanya sudah menjadi tradisi tiap musim haji.

Jemaah perempuan akan mengenakan pakaian yang berwarna terang keemasan dengan riasan makeup tebal. Di tangan kiri-kanan, dipenuhi gelang, cincin emas dan juga kalung.

Adapun bagi laki-laki, mereka akan mengenakan gamis, surban, dan kacamata hitam.

Tak ada yang tahu pasti sejak kapan jemaah haji asal Sulawesi Selatan mengenakan pakaian seperti itu. Namun, menurut Budayawan Universitas Hasanuddin Makassar, Ilham Daeng Makkelo tradisi tersebut kemungkinan berawal di abad 20-an.

Baca Juga: Kloter Pertama Embarkasi Makassar Dijadwalkan Tiba Hari Ini

Menurutnya, berhaji bagi orang Sulawesi Selatan adalah suatu kehormatan. Mereka akan melakukan apa saja untuk mendapatkan panggilan Haji di masyarakat.

Walaupun harus menunggu lama, mereka tak masalah. Untuk Sulawesi Selatan misalnya, masa tunggu haji cukup lama. Bahkan bisa mencapai 97 tahun.

"Bagaimanapun kondisi ekonominya, mereka akan berusaha untuk berhaji seperti menjual warisan. Itu banyak dilakukan sekarang," ungkapnya.

Kata Ilham, bagi orang Sulawesi Selatan, masalah haji bukan hanya soal ibadah. Ada yang lebih dari itu, yakni menaikkan strata sosial di masyarakat.

Dulu, strata sosial masyarakat yang paling tinggi hanya disandang oleh keturunan bangsawan. Namun, dengan gelar haji, statusnya dengan masyarakat biasa bisa disamakan.

"Karena berhaji bagi orang Sulsel, bukan hanya soal ibadah, tapi lebih memperlihatkan status sosial yang berbeda," ucap ketua Jurusan Ilmu Sejarah Unhas itu.

Kata Ilham, status haji bisa mengangkat derajat di masyarakat. Nah, salah satu yang dianggap muda untuk mengenali seseorang haji atau bukan adalah dari cara berpakaiannya.

Sebagian besar material pakaian yang digunakan orang berhaji meniru model baju Bodo. Tipis, berbayang dan terlapis. Namun yang identik yakni misbah berenda.

"Ketika mereka pulang, kenapa mereka berdandan, itu ingin memperlihatkan kepada keluarga dan orang-orang di kampungnya bahwa dia sudah beralih status ke haji. Ada identitas baru," kata Ilham.

Hal lain yang bisa diperhatikan adalah gelang emas bersusun di tangan dan baju berwarna cerah yang digunakan. Menurutnya orang-orang seperti itu ingin menunjukan eksistensinya.

Namun, menurut Ilham tidak semua daerah di Sulawesi Selatan mengenakan pakaian seperti itu. Hanya dominan di bagian utara Sulsel saja, seperti Pinrang dan Sidrap.

"Bagian Selatan tidak terlalu. Yang paling terasa dilihat di Sulsel bagian Utara seperti Parepare, Sidrap, Pinrang," ujarnya.

Kontributor : Lorensia Clara Tambing

Load More