Scroll untuk membaca artikel
Muhammad Yunus
Rabu, 06 Oktober 2021 | 17:40 WIB
Dua pengusaha menjadi saksi dalam sidang kasus dugaan suap dan gratifikasi proyek infrastruktur di Pemprov Sulsel. Mereka bersaksi untuk terdakwa Edhy Rahmat, Rabu, 6 Oktober 2021 [SuaraSulsel.id / Lorensia Clara Tambing]

SuaraSulsel.id - Edy Rahmat, terdakwa kasus dugaan suap dan gratifikasi proyek infrastruktur di Sulawesi Selatan mengungkap fakta baru di persidangan.

Eks Sekretaris Dinas Pekerjaan Umum dan Tata Ruang Pemprov Sulsel itu mengaku pernah menyerahkan uang ke Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) Perwakilan Sulsel untuk menghilangkan temuan.

Penyerahan uang ke BPK dilakukan pada bulan Januari 2021. Jumlahnya Rp200 juta. Edy Rahmat tidak menyebut nama pihak BPK yang menerima uang tersebut.

Edy mengaku uang itu didapat dari Andi Sutta. Andi Sutta adalah pengusaha yang mengerjakan proyek kawasan kuliner Lego-Lego di Center Poin of Indonesia (CPI).

Baca Juga: Jaksa KPK Ingin Buktikan Pembangunan Masjid Nurdin Abdullah Langgar Aturan

Proyek itu kata Edy Rahmat jadi temuan BPK. Makanya, ia meminta uang ke pengusaha yang mengerjakan.

"Soal proyek di Lego-Lego. Saat itu dikasih Rp200 juta untuk bayar BPK," ujar Edy yang dihadirkan secara virtual di ruang sidang Harifin Tumpa, Pengadilan Negeri Makassar, Rabu, 6 Oktober 2021.

Edy Rahmat mengaku perkenalannya dengan Andi Sutta difasilitasi oleh Kwan Sakti Rudy Moha. Mereka bertemu dua kali.

"Yang serahkan uangnya Andi Sutta. Kwan Sakti menyaksikan," ungkap Edy.

Kwan sakti sendiri bersaksi untuk Edy Rahmat. Pengusaha eksportir talas itu mengatakan, Edy pernah meminta uang pada akhir Desember 2020.

Baca Juga: KPK Duga Nurdin Abdullah Beli Lahan dan Bangun Masjid Pakai Uang Gratifikasi

Namun, Kwan mengaku saat itu ia tidak punya uang. Edy lantas bertanya "siapa yang bisa bantu".

"Dia bilang siapa tahu ada uang untuk dipakai biaya operasional. Lagi ada juga pemeriksaan pekerjaan. Apakah dari Inspektorat atau BPK, saya tidak tahu. Dia tidak jelaskan," ujar Kwan.

Kwan mengaku di Lego-Lego, perusahaannya hanya mengerjakan pagar. Yang mengerjakan bangunan utama adalah perusahaan milik Andi Sutta.

"Jadi waktu itu saya bilang tidak ada uang karena tidak ada proyek. Saya cuma kerja yang kecil di Lego-Lego. Anggarannya hanya Rp177 juta,"

Kwan kemudian mempertemukan Edy Rahmat dengan Andi Sutta. Mereka bertemu di ruangan Edy, di Kantor Dinas PU dan Tata Ruang.

"Ada pembicaraan saya dengar. Edy bilang kalau mau kasih boleh, kalau tidak mau juga tidak apa-apa. Andi Sutta hanya ketawa saja," ujar Kwan.

Namun, saat itu Andi Sutta mengiyakan. Dua hari berselang, Kwan kemudian mengantar Edy ke rumah Andi Sutta. Mereka mengambil uang yang dijanjikan Rp200 juta itu.

"Dikasih di depan rumah. Ditaruh di dalam tas jinjing. Uangnya dikasih di pekarangan rumah. Setelah itu Edy langsung pulang," tukas Kwan.

Edy Rahmat sendiri dalam surat dakwaan disebutkan pernah menerima uang dari sejumlah pengusaha. Nilainya Rp3 miliar lebih.

Beberapa pengusaha mengaku, uang tersebut sebagai jaminan jika ada pemeriksaan dari BPK. Pengusaha bernama Andi Kemal, Petrus Yalim dan Robert Wijoyo bahkan menyerahkan uang ke Edy hingga ratusan juta demi menghilangkan temuan.

Temuan itu untuk pengerjaan beberapa paket proyek. Seperti paket proyek di Rantepao-Bua dan pengerjaan jalan ke kawasan Pucak, Maros.

Sementara, saksi lain, bernama Thiawudy Wikarso menambahkan, Edy Rahmat tidak pernah meminta apa pun kepadanya. Edy hanya meminta tolong dibantu mengerjakan pelataran parkir di Rumah Sakit Khusus Dadi, Makassar.

Proyek tersebut mendesak karena mau diresmikan Nurdin Abdullah saat itu. Sehingga sifatnya penunjukan langsung.

Nilai pagunya Rp100 juta. Namun Thiawudy menolak karena tidak ada proses tender.

"Saat itu saya gak mau karena gak tender. Siapa mau tanggung jawab pembayarannya nanti," ujarnya.

Menurut Thyawudy, Edhy yang akan bertanggungjawab saat itu. Namun belum dikerjakan, Edhy sudah tertangkap KPK.

"Tapi saya tetap tidak kerja karena pak Edy sudah ditangkap. Nanti saya kerja siapa yang mau tanggung jawab," tuturnya.

Thiawudy juga mengaku pernah memenangkan proyek lain. Yakni pelebaran jalan lingkar di CPI pada tahun 2020.

Tapi proyek tersebut dibatalkan karena anggarannya tidak tersedia. Padahal, kata Thiawudy, proyek itu tayang di LPSE.

"Padahal kami sudah mengikuti tender saat itu dan sudah menang. Saya bilang ngapain dikerja kalau gak ada dananya. Jadi kami surati PUPR bahwa kami gak kerja," ungkap Thiawudy.

Pada tahun 2019, perusahaan Thyawudy juga pernah mengerjakan proyek irigasi senilai Rp1,4 miliar di Pemprov Sulsel. Kuasa Pengguna Anggaran (KPA) saat itu Edy Rahmat.

"Tapi Edy gak pernah minta apapun ke saya," tukas Thyawudi.

Kontributor : Lorensia Clara Tambing

Load More