Scroll untuk membaca artikel
Muhammad Yunus
Rabu, 25 Agustus 2021 | 10:07 WIB
Warga Afghanistan pertama meluapkan rasa saling berpelukan usai tiba di Bandara Frankfurt, Jerman setelah melalui perjuangan menakutkan agar bisa meninggalkan bandara Kabul. (Foto: AFP)

SuaraSulsel.id - Abdul Majid (36 tahun) imigran Afghanistan mengaku masih trauma. Apalagi setelah mendengar kabar Taliban menguasai negaranya saat ini.

Abdul sekarang berada di Kota Makassar. Dia adalah salah satu dari ribuan warga Afghanistan di Indonesia yang mencari suaka.

Ia mengaku, seminggu terakhir ketakutan menghantuinya. Tidurnya tak bisa nyenyak. Abdul mengingat keluarganya yang masih ada di Afghanistan. Apalagi setelah Taliban berkuasa, kekacauan ada dimana-mana.

Abdul bercerita, sejak kecil ia sudah terbiasa melihat peperangan di negaranya. Setiap menit ada suara tembakan. Dalam dua puluh menit, bom juga diledakkan.

Baca Juga: Biaya Tes PCR di Rumah Sakit Daya Makassar Rp 500 Ribu, Untuk Syarat Perjalanan

"Sejak saya kecil hingga sekarang saya trauma. Apalagi kalau dengar berita di media mengenai kondisi Afghan saat ini. Saya khawatir karena keluarga di sana," ujar Abdul saat dihubungi SuaraSulsel.id, Rabu, 25 Agustus 2021.

Kisah sedih selalu menghantui warga Afghanistan. Setiap hitungan menit juga tercatat ada warga yang meninggal.

Ia mengaku saat berusia 16 tahun, sudah disuruh bekerja keras tanpa diupah. Jika tidak, maka diwajibkan untuk ikut pendidikan militer.

Beda lagi untuk wanita. Mereka tak boleh kemana-mana. Hanya boleh di rumah saja. Jika menolak, maka akan disiksa.

"Bagi anak laki-laki jika menolak maka nyawa taruhannya. Anak laki-laki pilihannya hanya dua. Menjadi prajurit atau buruh paksa," jelasnya.

Baca Juga: Usai Demo Ricuh Ratusan Imigran Afghanistan, Kantor UNHCR Disemprot Disinfektan

"Anak perempuan juga begitu. Di rumah membantu ibunya atau menjadi istri para prajurit. Jika menolak akan disiksa," lanjutnya.

Menurutnya, tak ada yang berbeda antara pemerintahan Taliban dan Presiden sebelumnya, Ashraf Gani. Keduanya sama-sama kejam.

Mereka menyerang masyarakat sipil. Dalihnya untuk kepentingan agama, namun perilakunya sama sekali tidak mencerminkan nilai keislaman. Mereka membenarkan pertumpahan darah.

Sebagai masyarakat sipil, ia mengaku pasrah. Kini, ia tak ingin pulang ke negaranya.

Menurutnya, warga Afghanistan hanya punya dua pilihan. Melarikan diri atau bertahan menunggu kematian di dalam rumah.

"Saya bangga bisa meninggalkan negara yang seperti kota mati. Dipenuhi ketakutan terhadap pemerintah atau pemberontak Taliban," keluhnya.

Abdul sudah delapan tahun berada di Makassar. Ia berharap kelak ada negara yang mau mengakuinya.

Dulu, ia mengajukan permohonan menjadi pencari suaka ke eropa seperti Jerman dan Swiss. Namun, seleksi oleh organisasi Internasional, United Nations High Commisioner for Refugees (UNHCR) cukup ketat.

Hal tersebut yang membuatnya terpisah dengan keluarga besarnya. Sebab, tidak semua pengajuan bisa disetujui oleh UNHCR.

Ia pun diberi izin mengungsi ke negara Indonesia. Selama di Indonesia, sangat tenang dan nyaman.

Kendati demikian, gerak ruang mereka dibatasi. Tak bisa bekerja dan mendapatkan pendidikan.

Dulu, ia adalah seorang mahasiswa di Afghanistan. Karena peperangan terus terjadi, ia memilih keluar dari negaranya.

Abdul dan pengungsi lainnya di Makassar diberi biaya Rp 1 juta lebih per bulan oleh UNHCR. Itu untuk biaya kos dan makan.

"Warga di sini ramah. Walaupun kami tidak bisa bekerja atau hidup bebas seperti warga lokal lainnya," ujar Abdul.

Kontributor : Lorensia Clara Tambing

Load More