Akbar Faizal Soal Sengketa Lahan Tanjung Bunga Makassar: JK Tak Akan Mundur

Mantan anggota DPR RI Akbar Faizal turut angkat bicara terkait sengketa lahan di kawasan Tanjung Bunga, Makassar

Muhammad Yunus
Senin, 22 Desember 2025 | 17:03 WIB
Akbar Faizal Soal Sengketa Lahan Tanjung Bunga Makassar: JK Tak Akan Mundur
Politikus sekaligus mantan anggota DPR RI, Akbar Faizal bertemu dengan Mantan Wakil Presiden RI, Jusuf Kalla [SuaraSulsel.id/Istimewa]
Baca 10 detik
  • Akbar Faizal menyatakan keterlibatan langsung Jusuf Kalla dalam sengketa lahan Tanjung Bunga menandakan isu prinsip dan keadilan serius.
  • Sengketa lahan melibatkan PT GMTD dengan isu pembangunan yang menyimpang dari tujuan awal pariwisata budaya.
  • Masyarakat adat menuntut audit keuangan GMTD karena diduga terjadi perampasan tanah dan pengalihan aset kepada anak usaha Lippo.

Ia merujuk pada Surat Keputusan Menteri Parpostel tahun 1991 dan SK Gubernur Sulsel Nomor 1188/XI/1991 yang ditandatangani Gubernur Ahmad Amiruddin.

Dalam beleid tersebut, kawasan seluas 1.000 hektare diperuntukkan bagi pembangunan kawasan pariwisata, masing-masing 700 hektare di Kecamatan Tamalate, Makassar, dan 300 hektare di Kecamatan Pallangga, Kabupaten Gowa.

Awalnya, GMTDC --cikal bakal GMTD-- dibentuk sebagai perusahaan patungan antara Pemerintah Provinsi Sulsel, Pemerintah Kota Makassar, Pemerintah Kabupaten Gowa, dan pihak swasta.

Gagasan besar itu, kata Idris, lahir dari visi Gubernur Ahmad Amiruddin untuk mengembalikan kejayaan kawasan Somba Opu sebagai pusat kebudayaan, perdagangan, dan pariwisata.

Baca Juga:Sengketa Tanah Makassar: Hadji Kalla Lapor Polisi, GMTD Gugat Perdata

Visi tersebut kemudian diperkuat oleh Gubernur Sulsel berikutnya, Palaguna, melalui SK Gubernur Nomor 138/II/1995.

Meski membuka ruang pembangunan perkantoran dan pusat perdagangan, kawasan tersebut tetap diposisikan sebagai kawasan usaha pariwisata terpadu, lengkap dengan fasilitas budaya, perumahan, lapangan golf, marina, hingga transportasi laut.

Namun, Idris menilai arah pembangunan berubah drastis setelah Grup Lippo masuk sebagai pemegang saham mayoritas pada pertengahan 1990-an, menggantikan komposisi kepemilikan sebelumnya yang melibatkan pemerintah daerah dan Yayasan Pembangunan Sulsel.

"Cita-cita besar para gubernur terdahulu itu ditelan oleh keserakahan oligarki. Yang dibangun justru klaster perumahan mewah dan simbol-simbol Grup Lippo seperti rumah sakit, sekolah, dan pusat perbelanjaan," ujarnya.

Lebih jauh, Idris juga menuding adanya perampasan tanah adat dan lahan garapan warga miskin yang telah bermukim turun-temurun di kawasan Tanjung Bunga, Tamalate, hingga Barombong, Gowa. Masyarakat disebut tidak berdaya menghadapi kekuatan korporasi besar.

Baca Juga:Terungkap! 34 Tahun Beroperasi, GMTD Hanya Setor Rp6 Miliar ke Pemprov Sulsel

Tak hanya itu, ia juga mengungkap dugaan pengalihan tanah yang dibebaskan atas nama SK Gubernur kepada anak usaha Lippo, bukan dikelola langsung oleh GMTD.

Hal ini dinilai berpotensi merugikan pemerintah daerah dan menguatkan dugaan penggelapan aset.

Atas dasar itu, Komite Organisasi Masyarakat Adat-Budaya-Pusaka dan Sejarah mendesak DPRD Sulsel menggelar rapat dengar pendapat dengan seluruh pihak terkait, membentuk tim investigasi independen, serta menghentikan sementara seluruh aktivitas GMTD dan Grup Lippo di kawasan Tanjung Bunga dan Barombong hingga investigasi tuntas.

Kontributor : Lorensia Clara Tambing

BERITA TERKAIT

REKOMENDASI

Terkini