- Aipda H, anggota Polres Bone, didemosi lima tahun akibat pamer alat kelamin via panggilan video kepada remaja 21 Juli 2025.
- Sidang etik pada 1 Oktober 2025 menghasilkan sanksi penempatan khusus 30 hari dan demosi keluar Polres Bone.
- Selain sanksi etik, dugaan tindak pidana pornografi Aipda H telah dinaikkan ke tahap penyidikan sejak 16 Desember 2025.
"Korban menerima panggilan video dari terduga pelaku. Saat panggilan berlangsung, pelaku memperlihatkan alat kelaminnya, bahkan sampai memainkannya," ungkap Alvin.
Merasa kaget dan ketakutan, korban dengan sigap merekam layar panggilan video tersebut sebagai barang bukti. Rekaman itu kemudian disampaikan kepada orang tuanya.
Tak lama berselang, peristiwa tersebut dilaporkan secara resmi ke Polres Bone pada 6 Agustus 2025.
"Berdasarkan laporan polisi, terduga pelaku awalnya masih mengenakan sarung. Korban langsung berinisiatif merekam layar sebagai barang bukti," jelas Alvin.
Baca Juga:Banjir Laporan Anggota Polisi Selingkuh, Begini Reaksi Mahfud MD
Dampak psikologis dari peristiwa itu dirasakan langsung oleh korban.
Ia disebut menangis dan mengalami trauma mendalam karena tidak menyangka akan menjadi korban tindakan asusila, terlebih dilakukan oleh seorang anggota polisi.
"Pascakejadian korban mengaku menangis dan merasa trauma. Ia kemudian menceritakan kejadian itu kepada orang tuanya," tambah Alvin.
Hasil penyelidikan polisi memastikan bahwa antara pelaku dan korban tidak memiliki hubungan pribadi.
Nomor telepon korban diduga diperoleh pelaku saat korban pernah menemani temannya melapor di SPKT Polres Bone.
Baca Juga:Rekrutmen 'Busuk' Polri dari Hulu ke Hilir Bikin Masyarakat Hilang Kepercayaan
"Pelaku ini kan bertugas di SPKT. Korban sebelumnya pernah menemani temannya melapor di sana. Dari situlah pelaku mendapatkan nomor korban. Keduanya tidak memiliki hubungan apa pun," tegas Alvin.
Alvin menambahkan, kasus ini resmi dinaikkan ke tahap penyidikan pada 16 Desember 2025 setelah penyidik menilai alat bukti telah mencukupi.
Aipda H disangkakan melanggar Pasal 32 atau Pasal 36 Undang-Undang Nomor 44 Tahun 2008 tentang Pornografi, atau Pasal 281 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP).
"Perkara ini dianggap cukup bukti untuk dilanjutkan ke proses hukum (pidana)," ujarnya.
Kontributor : Lorensia Clara Tambing