- Kasus serupa berpotensi menjadi celah bagi mafia tanah untuk menguasai aset negara secara legal
- Taufan Pawe menilai akar persoalan kasus Manggala adalah belum tuntasnya status hukum
- Situasi semakin kompleks karena adanya tumpang tindih keputusan antara BPN, pemerintah provinsi, dan pemerintah kota
SuaraSulsel.id - Lahan seluas 52 hektare di Kecamatan Manggala, kota Makassar jadi sengketa berlarut. Hal ini jadi persoalan klasik dalam tata kelola aset negara.
Jika dibiarkan, kasus serupa berpotensi menjadi celah bagi mafia tanah untuk menguasai aset negara secara legal.
Anggota Komisi II DPR RI, Taufan Pawe menilai akar persoalan kasus Manggala adalah belum tuntasnya status hukum tanah negara yang diklaim sebagai milik ahli waris.
"Masalahnya terjadi karena status tanah bekas HGU ini masih digugat oleh pihak yang mengaku ahli waris. Akibatnya, tidak ada kepastian hukum," ujar Taufan saat kunjungan kerja ke Kantor Wilayah Badan Pertanahan Nasional (BPN) Sulawesi Selatan, Senin, 27 Oktober 2025.
Baca Juga:Taufan Pawe Usul Peradilan Khusus Pemilu: 14 Hari Penyidikan Terlalu Singkat
Menurut Taufan, situasi semakin kompleks karena adanya tumpang tindih keputusan antara BPN, pemerintah provinsi, dan pemerintah kota.
Di atas lahan yang masih disengketakan, telah terbit sejumlah izin dan sertifikat, termasuk Hak Pengelolaan Lahan (HPL) dan Hak Guna Bangunan (HGB).
"Keputusan penerbitan HPL dan HGB dibuat ketika lahan masih berstatus sengketa. Ini berpotensi menimbulkan maladministrasi dan menjadi celah hukum," tegasnya.
Taufan meminta agar pemerintah melakukan audit legal menyeluruh terhadap seluruh surat keputusan dan sertifikat di kawasan tersebut.
Salah satunya adalah HGB Nomor 1 Manggala atas nama Koperasi PNS Beringin yang diterbitkan pada 1991 berdasarkan SK DPRD dan Wali Kota untuk pembangunan perumahan pegawai negeri sipil.
Baca Juga:Kisah 6 Orang Makassar Tewaskan 300 Tentara di Thailand
Namun, menurut Taufan, dokumen itu tetap perlu ditinjau kembali.
"Kalau putusan pengadilan nanti memenangkan ahli waris, maka hak atas tanah bisa dibatalkan. Ini bisa menimbulkan potensi kerugian negara yang besar," ujarnya.
Untuk mencegah hal itu, ia menyarankan adanya revisi atau penerbitan ulang HGB dengan dasar hukum final.
Selain itu, Kementerian Dalam Negeri juga harus turun tangan. Karena di atas lahan itu diketahui berdiri sekitar 484 rumah pegawai negeri sipil, sebagian besar dibangun dengan status kepemilikan yang sah.
"Perlu solusi win-win solution agar negara tidak rugi dan masyarakat tetap punya kepastian hukum," tambahnya.
![Perumahan Bukit Graha Praja Indah atau Kompleks Gubernuran Manggala Kota Makassar digugat oleh warga bernama Magdalena De Munnik sebagai penggugat intervensi dan Samla Dg Ngimba sebagai penggugat asal [SuaraSulsel.id/Muhammad Yunus]](https://media.suara.com/pictures/653x366/2025/04/21/58045-kompleks-gubernuran-manggala-makassar.jpg)
Akar Sengketa Lama
Sengketa lahan di Manggala sejatinya sudah berlangsung selama lebih dari tiga dekade.
Awalnya, tanah itu merupakan bekas HGU milik Hasyim Daeng Manappa, yang kemudian dialihkan kepada Fachruddin Daeng Romo melalui akta notaris tahun 1974.
Saat masa HGU berakhir pada 1991, Fachruddin mengajukan perpanjangan, namun ditolak oleh BPN.
Berdasarkan SK Kepala BPN No. 5-VIII-1991, lahan tersebut ditetapkan menjadi tanah negara.
Setahun kemudian, melalui SK Gubernur No. 575/V/1992, lahan dibagi untuk kepentingan instansi pemerintah dan perumahan PNS.
Terbaru, kasus yang sementara berproses memenangkan Magdalena De Munnik di tingkat banding Pengadilan Tinggi Makassar pada Maret 2025.
Sementara ahli waris Hasyim Daeng Manappa, dan ahli waris Fachruddin Daeng Romo tidak mengajukan banding setelah kalah di pengadilan tingkat pertama.
Putusan tersebut menjadi pukulan bagi pemerintah daerah. Pasalnya, lahan itu telah ditempati ratusan PNS dan sebagian digunakan untuk fasilitas umum.
"Kalau tidak segera diselesaikan secara hukum, negara bisa kehilangan aset yang sudah digunakan puluhan tahun," ujar Taufan.
Taufan menilai langkah hukum ini penting untuk memastikan tidak ada manipulasi dokumen yang bisa merugikan negara.
Kasus Manggala hanyalah satu dari banyak contoh lemahnya manajemen aset negara di daerah.
Taufan mendorong agar Kementerian ATR/BPN dan pemerintah daerah memperkuat sinkronisasi data pertanahan serta mempercepat penyelesaian aset eks-HGU yang tidak diperpanjang.
Langkah audit menyeluruh, pembenahan legalitas, dan harmonisasi kebijakan lintas instansi dinilai menjadi jalan satu-satunya untuk menutup ruang gerak mafia tanah.
Sebab jika tidak, konflik seperti di Manggala bisa menjadi bom waktu bagi banyak daerah lain di Indonesia.
"Makanya hingga kini saya masih mengumpulkan data dari Kanwil BPN sini mengenai masalah tersebut. Saya juga kemungkinan bertemu dengan masyarakat disana, dalam tanda kutip korban," ucap mantan Wali Kota Parepare itu.
![Warga perumahan Pemda Manggala Kota Makassar berunjuk rasa menolak praktik mafia tanah, Minggu 18 Mei 2025 [Suara.com/Muhammad Yunus]](https://media.suara.com/pictures/653x366/2025/05/18/37112-mafia-tanah.jpg)
Dugaan Dokumen Palsu
Pemerintah Provinsi Sulawesi Selatan dan Pemerintah Kota Makassar sudah melaporkan Magdalena De Munnik ke pihak kepolisian.
Laporan tersebut terkait dugaan penggunaan dokumen palsu dalam proses gugatan lahan.
Kasus itu kini sedang ditangani oleh Polrestabes Makassar.
"Masih dalam tahap pemeriksaan saksi-saksi," kata Kasi Humas Polrestabes Makassar AKP Wahiduddin.
Laporan bermula saat Pemprov Sulsel, BPN dan Pemkot Makassar menemukan ada dokumen yang diduga palsu dalam berkas persidangan yang diajukan Magdalena ke Pengadilan Tinggi Makassar.
Pemprov Sulsel juga menemukan logo Badan Pertanahan Nasional (BPN) di dokumen tersebut, dan ternyata hal tersebut dibantah oleh BPN sendiri. Mereka menegaskan logo itu palsu.
Kasus lahan 52 hektare di Kelurahan Manggala, Makassar, saat ini sedang berproses di tingkat kasasi. Setelah pemerintah menolak putusan hakim Pengadilan Tinggi Makassar.
Kontributor : Lorensia Clara Tambing