Anak Kecanduan Medsos? Menteri Meutya Usul Larangan HP di Sekolah, Setuju?

Hampir separuh pengguna media sosial di Indonesia berasal dari kelompok usia anak-anak

Muhammad Yunus
Senin, 16 Juni 2025 | 15:58 WIB
Anak Kecanduan Medsos? Menteri Meutya Usul Larangan HP di Sekolah, Setuju?
Menteri Komunikasi dan Digital RI Meutya Hafid saat berkunjung ke Kota Makassar, Senin 16 Juni 2025 [SuaraSulsel.id/ Lorensia Clara]

SuaraSulsel.id - Menteri Komunikasi dan Digital RI Meutya Hafid mengatakan sekarang ini hampir separuh pengguna media sosial di Indonesia berasal dari kelompok usia anak-anak. Terutama yang berusia sekitar 13 tahun.

Tingginya angka ini menandakan bahwa anak-anak merupakan pengguna aktif internet. Tapi belum tentu memiliki kedewasaan dalam memilah dan menyaring informasi yang mereka konsumsi.

Hal tersebut dikatakan Meutya Hafid saat berkunjung ke BPSDM Kementerian Komunikasi Makassar, Senin, 16 Juni 2025.

"Mereka belum cukup matang atau bijak untuk memilah-milah platform yang dibuka," ujar Meutya.

Baca Juga:11 Ribu Lulusan SMP di Kota Makassar Terancam Tidak Lanjut ke SMA Negeri

Kata Meutya, pemerintah Republik Indonesia semakin serius dalam upaya melindungi anak-anak dari potensi bahaya di ruang digital.

Makanya, penting adanya perlindungan psikologis terhadap anak-anak, layaknya aturan batas usia dalam membawa kendaraan.

"Media sosial pun seharusnya memiliki aturan yang serupa," tambahnya.

Ia menjelaskan, penggunaan gawai oleh anak-anak seringkali terjadi tanpa pengawasan.

Bahkan, aktivitas berselancar di dunia maya kerap dilakukan dari ruang pribadi. Seperti kamar tidur hingga toilet yang membuat kontrol dari orang tua menjadi sulit dilakukan.

Baca Juga:Murid Dipukul Kepala Sekolah? DPRD Gorut Ngamuk, Janji Usut Tuntas!

Situasi ini membuka celah besar bagi anak-anak untuk mengakses berbagai konten.

Mulai dari yang mendidik, hingga yang sangat berbahaya seperti pornografi, perundungan (bullying) dan judi online.

"Anak-anak kita bisa mengakses dari yang amat baik hingga yang amat berbahaya," sebutnya.

Meutya menyebut, dampak perundungan di ruang digital bukan hanya sekadar luka emosional.

Tetapi juga bisa menjurus pada tindakan ekstrem seperti bunuh diri atau kekerasan dalam rumah tangga.

Untuk mencegah bahaya tersebut, pemerintah telah menerbitkan Peraturan Pemerintah (PP) tentang Perlindungan Anak di Ruang Digital atau yang dikenal dengan PP TUNAS.

Ini adalah peraturan pemerintah tentang tata kelola penyelenggaraan sistem elektronik dalam perlindungan anak.

Meutya menjelaskan, regulasi ini mengatur platform digital memiliki tanggung jawab untuk menyaring pengguna berdasarkan usia.

Anak-anak di bawah 18 tahun tidak dapat mengakses platform atau konten yang tidak sesuai dengan perkembangan psikologis mereka.

"Platform harus punya tanggung jawab. Anak usia 12 tahun, misalnya tidak boleh bisa masuk ke situs tertentu," sebutnya.

Meutya menekankan, aturan ini bukan hanya soal tanggung jawab pemerintah pusat.

Melainkan juga perlu didukung dengan edukasi di rumah dan peran aktif dari pemerintah daerah.

Batasi Penggunaan HP di Sekolah

Dalam kunjungannya ke Sulawesi Selatan, Meutya menilai ibu-ibu memiliki peran penting dalam mendampingi anak-anak berselancar di dunia digital.

Meski sang ayah juga banyak berperan, waktu yang lebih banyak bersama anak kerap dimiliki para ibu.

Karena itu, edukasi digital yang utama harus dimulai dari rumah.

Ia juga membuka wacana pembatasan penggunaan gawai di lingkungan sekolah sebagai salah satu bentuk pengendalian bersama di Sulawesi Selatan.

"Kita meng-exercise apakah memungkinkan di Sulawesi Selatan juga mengadakan pembatasan gadget atau ponsel ketika masuk sekolah," sebutnya.

Pemerintah pusat melalui Komdigi juga aktif melakukan pemantauan terhadap konten digital dan telah menurunkan berbagai konten bermasalah yang dilaporkan masyarakat.

Termasuk di antaranya konten tentang komunitas sedarah yang sempat viral di Facebook baru-baru ini. Namun, Meutya menyadari, penindakan seperti ini tidak akan efektif tanpa kerja sama dari platform digital itu sendiri.

"Mereka (platform) yang paling tahu isi rumahnya. Jadi mereka juga yang paling bisa bertindak cepat," ujarnya.

Politikus Partai Golkar itu menegaskan, platform digital khususnya yang meraup keuntungan besar dari pengguna Indonesia harus menghormati regulasi yang ditetapkan pemerintah.

Pemerintah terus mendorong agar platform tak hanya menunggu laporan, tetapi juga proaktif dalam menurunkan konten yang membahayakan anak-anak.

Namun di lapangan, tidak semua platform menunjukkan kepatuhan. Meutya menyebut salah satu platform besar yang belum sepenuhnya patuh adalah Facebook yang dinilai masih menampilkan iklan-iklan bermasalah termasuk judi online.

Padahal, jauh sebelum PP Tunas, Komdigi sudah memiliki regulasi internal bernama Sistem Konten Aman dan Ramah (SAMAR) yang mewajibkan platform untuk menurunkan konten pornografi anak atau perjudian dalam waktu maksimal 4 hingga 24 jam.

Saat ini, pemerintah memberikan masa transisi maksimal dua tahun bagi seluruh platform digital untuk mempersiapkan sistem verifikasi usia serta menyusun kebijakan internal yang sejalan dengan PP Tunas.

Meutya berharap waktu dua tahun itu tidak perlu dihabiskan seluruhnya. "Kalau mereka sudah siap lebih cepat, tentu lebih baik," katanya.

Ia menyebut, kepatuhan terhadap regulasi bukan hanya soal hukum melainkan bentuk penghormatan terhadap negara dan komitmen bersama dalam menjaga generasi penerus bangsa.

Kontributor : Lorensia Clara Tambing

BERITA TERKAIT

REKOMENDASI

News

Terkini