Yayasan Peduli Timor Barat Desak Australia Tinggalkan Pulau Pasir

Kini masih menjadi kawasan sengketa antara Indonesia dan Australia

Muhammad Yunus
Jum'at, 15 Juli 2022 | 16:30 WIB
Yayasan Peduli Timor Barat Desak Australia Tinggalkan Pulau Pasir
Seorang pria menunjukkan peta Pulau Pasir atau Ashmore Reef [SuaraSulsel.id/ANTARA]

SuaraSulsel.id - Yayasan Peduli Timor Barat (YPTB) kembali desak Pemerintah Australia segera meninggalkan gugusan Pulau Pasir atau Ashmore Reef yang kini masih menjadi kawasan sengketa antara Indonesia dan Australia.

"Gugusan Pulau Pasir ini sah merupakan hak milik masyarakat adat Timor-Rote-Sabu-Alor, kemudian Australia baru memasuki wilayah gugusan Pulau Pasir pada sekitar tahun 1975 kemudian secara perlahan mengganti nama Gugusan Pulau Pasir menjadi Ashmore Reef," kata Ketua YPTB Ferdi Tanoni.

Peraih tunggal Civil Justice Award 2013 dari Australian Lawyers Alliance itu menuturkan sesuai fakta sejarah, Pemerintah Inggris pada tahun 1932 menyerahkan pengelolaan gugusan Pulau Pasir kepada Pemerintah Federal Australia.

Ia mengatakan tindakan aneksasi secara sepihak dan tidak sah oleh Australia ini mengutip sejarah perjalanan Kapten Samuel Ashmore ketika hendak kembali ke negaranya (Inggris) pada tahun 1811 dan melewati gugusan Pulau Pasir itu.

Baca Juga:FIBA Asia Cup 2022: Timnas Basket Siap All Out saat Hadapi Australia

Pada tahun 1878, Pemerintah Inggris secara sepihak mengklaim sebagai bagian dari wilayah Inggris kemudian menamakannya sebagai “Ashmore Reef”, tanpa sepengetahuan Pemerintah Hindia Belanda yang menguasai itu.

Dia menambahkan bahwa bila mengacu pada keputusan Mahkamah Internasional yang memenangkan Malaysia dalam sengketa Pulau Sipadan-Ligitan yang didasarkan pada alasan effectivity (tanpa memutuskan pada pertanyaan dari perairan teritorial dan batas-batas maritim), maka posisi dan status gugusan Pulau Pasir adalah kebalikannya.

Menurut Ferdi yang juga adalah pemegang mandat hak ulayat masyarakat adat di Laut Timor bahwa pada tahun 1998, masalah sengketa Sipadan dan Ligitan dibawa ke International Court of Justice (ICJ), kemudian pada Selasa, 17 Desember 2002 ICJ mengeluarkan keputusan tentang kasus sengketa kedaulatan Pulau Sipadan-Ligatan antara Indonesia dengan Malaysia.

"Hasilnya, dalam voting di lembaga itu, Malaysia dimenangkan oleh 16 hakim, sementara hanya satu orang hakim yang berpihak kepada Indonesia," ujar dia.

Secara garis besar keputusan Mahkamah Internasional memenangkan Malaysia, didasarkan pada pertimbangan effectivity tanpa memutuskan pada pertanyaan dari perairan teritorial dan batas-batas maritim, yaitu Pemerintah Inggris (penjajah Malaysia, Red) telah melakukan tindakan administratif secara nyata berupa penerbitan ordonansi perlindungan satwa burung, pungutan pajak terhadap pengumpulan telur penyu sejak tahun 1930, dan operasi mercusuar sejak 1960-an.

Baca Juga:Mentan SYL Bertemu Menteri Pertanian Australia, Bahas Pengamanan Pertanian Kedua Negara

Sementara itu jika dibandingkan dengan fakta yang terdapat di gugusan Pulau Pasir berdasarkan pada effectivity, yaitu Pemerintah Hindia Belanda (penjajah Indonesia, Red) telah melakukan tindakan administratif secara nyata berupa penerbitan izin kunjungan yang dikenal dengan pas jalan dan pungutan pajak bagi setiap nelayan yang hendak berkunjung ke gugusan Pulau Pasir untuk mengambil telur penyu dan teripang.

Tindakan ini terus berlangsung paling tidak hingga tahun 1976-an, sebelum tahun 1974 ketika Indonesia dan Australia membuat MoU tentang hak-hak nelayan tradisional. Di samping itu gugusan Pulau Pasir telah dijadikan rumah kedua bagi para nelayan tradisional Laut Timor sekitar 500 ratus tahun lalu, jauh sebelum Australia menjadi sebuah negara berdaulat.

"Dengan demikian jika keputusan Mahkamah Internasional yang memenangkan Malaysia atas sengketa Pulau Sipadan dan Ligitan dijadikan yurisprudensi hukum, maka jelas gugusan Pulau Pasir menjadi bagian teritorial dari Negara Kesatuan Republik Indonesia," ujar dia lagi. (Antara)

BERITA TERKAIT

REKOMENDASI

News

Terkini