SuaraSulsel.id - Batok kelapa atau tempurung kelapa di Kepulauan Selayar dulunya tidak dimanfaatkan. Di tangan Asriyhani, kini tempurung kelapa di Selayar bernilai miliaran rupiah.
Sulawesi Selatan adalah salah satu produsen kelapa terbesar di Indonesia. Namun, selama ini yang termanfaatkan hanya dagingnya saja.
Kulit, tempurung, dan pohonnya terbuang sia-sia. Peluang itu dimanfaatkan Asriyhani agar batok kelapa punya nilai ekonomis tinggi.
Batok kelapa asal Selayar diubah menjadi briket atau arang yang mahal. Bahkan berhasil diekspor hingga ke Eropa dan Timur Tengah.
Baca Juga:Aliansi Mahasiswa Pesisir Tuntut Polisi Usut Dugaan Penganiayaan Nelayan di Selayar
Asriyhani berhasil mengekspor dua kontainer. Sekitar 40 ton briket arang dari batok kelapa ke Inggris pada Senin, 4 Juli 2022.
"Nilai ekspornya sekitar Rp500 juta lebih. Tapi beberapa hari ke depan kami akan ekspor ke Turki dengan nilai Rp1,5 miliar," ujarnya.
Asriyhani mengaku peluang pasar ekspor briket cukup besar. Di beberapa negara, arang balok itu sangat diminati.
Di Timur Tengah digunakan untuk rokok pipa Shisa. Sementara di Australia dan Asia untuk keperluan memasak di restoran.
Kabar baiknya, batok kelapa asal Selayar adalah yang paling bagus di dunia. Pembeli dari luar negeri mengaku briket asal Sulsel lebih tahan lama dan tidak lengket.
Baca Juga:PT Industri Kapal Indonesia Sudah Produksi 3 Kapal Roro Baru Khusus Kepulauan Selayar
Sayang, Sulsel belum bisa mengekspor briket arang secara langsung ke luar negeri. Pihak pelabuhan belum mengizinkan.
Direktur CV Coconut International Indonesia itu mengaku harus mengeluarkan uang hingga Rp50 juta setiap kali ekspor. Karena harus melalui pelabuhan Surabaya terlebih dahulu.
"Sepanjang sejarah, ini adalah ekspor pertama atas nama kami CCI walaupun masih harus lewat Surabaya. Sebelumnya Pemberitahuan Ekspor Barang (PEB) harus atas nama Surabaya, kita hanya undername," ungkapnya.
"Jadi buyer sempat meragukan kita, dia bilang kalau produkmu bagus kenapa harus ke Surabaya dulu, padahal Makassar ada pelabuhan internasionalnya. Jadi saya minta bantuan Bea Cukai untuk yakinkan mereka," lanjutnya.
Begitupun dari segi pembiayaan. Asriyhani mengaku sempat menghadapi masalah keuangan.
Ia kesulitan pada saat pandemi. Bisnisnya sempat terkendala karena ekspor dihentikan.
Padahal, ia mempekerjakan sekitar 50 warga sekitar di pabrik. Jika kredit bermasalah, maka gaji pekerja juga tentu terhambat.
"Kendalanya pada saat pandemi, kredit sempat "batuk-batuk" karena ekspor sempat dihentikan. Jadi kita sempat komplain ke Bank Indonesia soal kredit. Perbankan hanya bantu saat kita sukses," ungkapnya.
Kepala Dinas Perdagangan Sulawesi Selatan Ashari Faksirie Radjamilo mengatakan kendala yang dihadapi ekspor briket saat ini adalah soal izin di pelabuhan. Pemilik kontainer menolak briket dari Sulsel karena dinilai rawan terbakar.
Kini, Pemprov Sulsel sudah meminta agar Bea Cukai bisa membantu para eksportir soal izin.
"Harus izin lewat Surabaya. Saya bingung kenapa Surabaya bisa, di Sulsel tidak. Kita minta Bea Cukai tolong loloskan ini. Karena ternyata peminatnya sangat besar," kata Ashari.
Ia berharap ekspor briket ke depan bisa langsung ke negara tujuan. Tidak lagi melalui Surabaya untuk memotong biaya produksi.
"Kita upayakan segera direct call. Jangan lagi lewat Surabaya karena cukup mahal," kata Ashari.
Kontributor : Lorensia Clara Tambing